Thursday 19 May 2016

Cooking Time!

Akhir-akhir ini pekerjaan lagi banyak banget, lembur melulu. Hidup aku berubah jadi sebuah siklus yang super membosankan. Datang pagi, di kantor ngebut garap, pulang malam, nyuci-nyuci, langsung tepar.
Aku menghabiskan hari semacam itu hampir dua minggu lebih. Aku sendiri nggak percaya bisa hidup kaya gitu. 

Bagian paling menyedihkan adalah ketika siklus itu pelan-pelan mulai menghisap aku sampai jauh dari obrolan-obrolan ringan dengan teman-teman kos dan waktu istirahat yang aku gunakan untuk melakukan hal yang aku suka. Waktuku luang cuma ada saat pagi, untungnya. Setiap pagi aku masih bisa memasak, hobiku ini, iya cuma ini yang menyelamatkan aku dari siklus itu. 

Dapur kosan tempat aku belajar banyak resep

Aku menemukan Gita yang lain saat memasak. Ada kesenangan saat spatula dan wajan beradu menjadi dentingan, atau di tengah erangan kesakitan karena cipratan minyak panas. Aku banyak belajar ketika memasak. Bukan cuma aku jadi tahu kalau-masak-ini-jangan-pakai-itu atau kalau-masak-itu-jangan-pakai-ini, tetapi juga sikap-sikap untuk menjalani hidup. Sejauh ini, aku baru menemukan lima hal berikut:

1. Kesabaran, saat goreng ikan. Bumi dan para penghuninya pasti tahu bahwa goreng ikan itu membutuhkan waktu yang super lama, dengan kenyamanan melakukannya 0%.

"0%, Git?" 

Karena ikan kan saat digoreng suka dor dor dor meletus-letus, sehingga minyaknya tuing jeger nyiprat ke tangan. Hal itu berlangsung banyak kali. Beberapa kali malah mengarah ke wajah. Hampir sepanjang masa penggorengan akan seperti itu. Kalau kita pikir dengan memperbesar apinya akan membuat waktu penggorengan lebih cepat, ternyata itu juga salah karena nggak ngaruh. Api yang besar hanya akan membuat ikan gosong tetapi dagingnya belum matang. Ikan juga jadi lengket di wajan. Sungguh sebuah kompilasi cobaan hidup. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapinya? Kudu sabar aja. Atau sabar banget juga boleh. 
Seperti ketika kita berinteraksi dengan orang atau masalah selama ini, kita melewati banyak proses yang menyebalkan sampai-sampai menyakitkan. Kalau kita memaksakan untuk mengakhirinya lebih cepat kadang malah selesainya tidak tuntas dan membuat waktu tempuhnya lebih panjang. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapinya? Kudu sabar aja. Atau sabar banget juga boleh. 

Ingatlah saat bersusah-susah menggoreng ikan, hasil saat ikan matang nanti akan enak sekali.

Yakinlah ada sesuatu yang menantimu selepas banyak kesabaran (yang kau jalani) yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa pedihnya rasa sakit. -Ali bin Abi Thalib

2.  Keadilan, saat goreng nasi. Ribuan butir nasi dituang dalam satu tempat saat kita menggoreng nasi. Ketika garam, merica, dan bumbu lainnya dituang kita mengaduknya agar setiap butir nasi menjadi sama rata dalam satu rasa. Kalau si pengendali nasi goreng alias yang memasak hanya mengaduk sampai beberapa sudut wajan aja, rasa itu hanya akan sama sampai di sudut-sudut itu saja. Tetapi kalau semua sudut wajan dijamahnya, akan tersebar rasa untuk semua butir nasi.
Si koki, dialah kunci yang bisa membuat rasanya jadi sama. 
Aku membayangkan setiap sudut wajan seperti pulau-pulau Indonesia, yang katanya masih belum sama berdirinya. Ada Jawa yang selalu diajak berlari kencang, namun pulau manapun selain dia hanya sesekali diajarkan merangkak. Padahal dalam satu kepala pemimpinnya yang diinginkan menjadi hebat adalah Indonesia, bukan cuma pulau Jawa.
Keadilan, ketika harus disebarkan, adalah pemimpinnya yang paling bisa menyebarkan. Best wishes for you my Indonesia. 

3. Jangan rakus, saat belanja ke pasar. Aku hanya akan memasak apa yang aku suka saja. Maka dari itu, saat beli bahannya aku selalu aja pingin belanja lebih banyak dari yang sanggup aku makan karena aku tahu aku bakal suka memakannya. Tetapi aku sering mengingatkan diri sendiri bahwa itu pastilah hanya perasaan aku saja, karena kapasitas perutku kan segini-gini aja. Kalau keinginan itu dituruti malah masakanku berakhir mubazir. Jadilah aku berteman sama setan-setan.

Kegiatan belanja yang kulakukan hampir setiap pagi ini, mengingatkan aku agar bisa sabar buat tahan napsu. Rakus alias kemaruk, adalah salah satu dari dosa-dosa pokok manusia. Seven deadly sins, gitu kata orang keren. Wajar ada, tapi seharusnya tidak dibiarkan ada.

4. Ragu-ragu lebih baik tidak, saat goreng telur. Aku sering banget membuat telur dadar jadi begitu lebar karena aku suka bleber-bleberin kocokan telur yang sudah kutuang di atas wajan.

"Supaya apa gitu, Git?"

Aku menemukan kesenangan dari membleberkan kocokan telur. Kesenangan itu adalah mendengar kocokan telur itu kena panasnya wajan. Henyesnyesss... begitu bunyinya. Kalau masi ada aja kocokan telur yang ngumpul di tengah, pasti aku bakal luberkan ke pinggir supaya dia bisa henyesnyesss. Tapi karena kesukaanku itu, aku juga sering kesulitan membalik itu telur karena terlalu lebar. Seringkali aku merasa yakin bisa membaliknya tapi saat telur itu udah kuangkat rasa nggak yakin yang tiba-tiba maju. Jadinya? Telurnya sobek di tengah. 

"Kenapa efeknya sobek ya, Git?" 

Telur yang sobek itu terjadi karena dalam diri aku ada rombongan partikel yang pro dengan perlakuan A jalan ke kanan dan yang masih ragu dengan perlakuan A itu jalan ke kiri. Mereka para partikel itu meloncat keluar dari pori-pori kulitku dan mengajak para partikel telur sebagain ke kanan dan sebagian ke kiri. Jadilah telur itu sobek.

Begitu juga dengan hal apapun yang kita kerjakan dengan ragu. Diri kita sendiri aja masih terbagi dua, nggak bersatu padu untuk mengerjakannya. Apalagi hasilnya! Makanya hasilnya nggak bisa maksimal.

Meneruskan pesan dari Tentara Nasional Indonesia kepada seluruh pembaca yang kebetulan membaca: Ragu-ragu lebih baik kembali.

5. Bertanggung jawab dengan apa yang kita buat. Bagi aku yang baru berapa tahun bisa memasak, kegiatan ini adalah proses belajar. Ada kalanya resep atau masakan yang aku udah bisa banget aku masak lagi jadilah akunya sukses memasak. Tapi kadang juga ada yang aku baru coba kali ini banget. Ternyata di percobaan pertama ini...  sebut saja gagal. 
Gagalnya nggak banget-banget sih, masih bisa dimakan meskipun hambar :p Kalau di tipi-tipi pasti dibuang ke tempat sampah. Tapi aku nggak berani kaya begitu, pertama karena membuang makanan itu pasti bikin aku jadi temannya setan. Kedua, buatku apapun hasil yang aku capai masakanku adalaha masakanku. Aku yang mengolahnya, dari mereka mentah hingga matang. Aku yang melihat mereka berubah dari yang masih segar hingga layu saat sudah masak. See? I'm the maker, bagaimana mereka saat matang enak atau nggak itu karena aku ini. Kalau mereka enak, aku punya tanggung jawab menghabiskan mereka. Kalau mereka nggak enak, masih aku yang punya tanggung jawab menghabiskan mereka karena aku yang membuat mereka jadi begitu. Kata beberapa orang sih, finish what you start!


***

Sejauh ini masih banyak banget resep yang aku belum coba masak. Resep-resep itu pasti akan membawa banyak pelajaran juga buat aku. Jadi kangen dapur... pingin pelukin wajan...