Sunday 6 August 2017

In The Name of Edelweiss

Setelah gagal menyapa bunga edelweiss di Gunung Gede pada Desember 2016 lalu, kesempatan datang lagi di Gunung Papandayan. Aku pergi bertiga dengan teman kantorku namanya Aldo, dan Ka Ica, teman SMA-nya Aldo. Sebelum kuceritakan perjalanan kami bertiga, aku ingin ucapkan banyak banyak terima kasih sama dua anak Minang yang kusebut barusan. Segala salah dan ketololanku mohon dimaafkan yah kakak-kakak ^_^

***

Gunung Papandayan terletak di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Elevasi tertinggi yang tercatat adalah 2622 meter di atas permukaan laut. Pertimbangan kami untuk mendaki gunung ini adalah karena dekat dengan kota domisili (Jakarta), aku pribadi pun ingin banget banget banget ketemu bunga edelweiss. Kabarnya di sana ada suatu padang namanya Tegal Alun yang ditumbuhiiiiii edelweisssssssssss semua. Well, aku sebetulnya nggak ada alasan khusus kenapa ingin ketemu edelweiss. Penasaran aja, tapi juga nggak begitu sih, karena sudah kebayang di internet seperti apa wujudnya. Hanya saja berasa hutang aja sama diri sendiri kalau belum mendekatinya langsung.

Perjalanan kami dimulai dari Kuningan, Jakarta Selatan, pukul 20.10. Kami menuju Kampung Rambutan untuk mencari bus yang ke Garut. Kami masuk bus sekitar pukul 22.00, tapi itu bus baru jalan pukul 23.30an.  Sampe kering nunggunya! Ongkos bus per orang Rp52.000,00. 

Satu bus dengan kami banyak juga yang mau naik gunung, dengan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang ke Guntur dan ada juga yang ke Cikuray. Kami sampai di Terminal Guntur di Garut pukul 04.30 WIB. Langit yang masih gelap menyambut kami dengan gerimis dingin. 

Untuk mencapai Taman Wisata Alam Gunung Papandayan kita mesti naik angkot arah Cisurupan dari terminal Guntur. Ini angkot nunggu kuota penuh dulu baru berangkat, muatnya sekitar 14 orangan, per orang saat itu kena biaya Rp25.000,00. Kemarin aku juga ditarik lagi Rp5000,00 untuk ongkos naikin barang ke atas angkot. Lama perjalanan satu jam saja~~~ 
Dari pertigaan Cisurupan kami naik bak pick up untuk mencapai gerbang Papandayan bersama pendaki lain, per orang tarifnya Rp20.000,00. Sebetulnya angkot yang membawa kita dari terminal Guntur bisa saja dicarter sampai gerbang Papandayan. Bayarnya pun sama saja, nambah Rp20.000,00.
Perjalanan dari Cisurupan ke gerbang Papandayan berkisar 30 menit. Kami nggak banyak melihat pemandangan dari atas mobil pick up selama perjalanan karena masih gerimis, jadi semua penumpang bersama berlindung dibawah terpal yang bisa digulung-digelar hihi rasanya kaya kambing deh (-_-"). 
Masih di awal 
 Ongkos masuk TWA Papandayan per jiwa yang hidup Rp30.000,00. Itu belum termasuk dengan ongkos nge-camp, nambah Rp35.000,00 again

"Mahal amat, Git?"
"Iye be'eng!"

Setelah bersiap dengan jas hujan karena masih saja gerimis, perjalanan kami dimulai pukul 09.00. Track dimulai dengan jalan aspal, lalu berbatu kuning-kuning gitu (tipikal daerah berkawah), kemudian tanah. Ada juga jalanan yang sudah ditangga-tanggakan dengan batu-batu besar. Apa yang dikatakan banyak orang di dunia maya, tentang kemiringan jalan di Papandayan ini cukup ramah untuk pendaki pemula, benar adanya. Ya meskipun namanya naik gunung ya, pasti bikin payah juga pas naik haha apalagi ada bawaannya #curhat. Tapi cukup banyak juga bonus track-nya, cukup untuk mengembalikan stamina. Kalau aku sih suka banget sambil jalan itu ngisep Madurasa, rasanya manis bikin perjalanan jadi manis juga.  
Ghober Hoet diguyur hujan
Kami berencana berkemah di Pondok Saladah. Dari gerbang hingga Pondok Saladah kami melewati empat pos yaitu 6, lalu 7, 8, dan terakhir 9 atau Ghober Hoet. Di Ghober Hoet ini terdapat tiga warung. Aku, Ka Ica, dan Aldo beristirahat di salah satunya. Di warung ini ada banyak barang yang dijual, mulai dari gorengan, seblak (waahhhhh pengennnnn tapi takut mencret), kopi, sampai tali rafia. Gorengannya nggak mahal juga kok, Rp1000,00 harga satuannya, enak pula. Tehnya sih yang mahal, Rp5000,00. Saran aku kalau lewat Ghober Haut kudu mampir beli gorengan di sini.

"Git Git itu kok langsung pos 6 sih? Pos 1-nya yang mana?"

Nah untuk ini aku juga kurang paham, aku iyain aja dulu sih biar cepat. Sepertinya juga ada dua jalur untuk mencapai Pondok Saladah. Kalau tidak salah setelah pos 7 itu kita dihadapkan pada dua jalur, yang kanan (ini yg aku tempuh) lewat hutan gitu. Nah yang ke kiri itu lewat tangga batu, membawa kita langsung bertemu Hutan Mati. Lebih curam yang kiri ini. Tapi yang aku lihat kemarin papan penunjuk "JALUR PENDAKIAN" hanya ada satu yaitu yang mengarah ke kanan, jadi yaudah aku lewat kanan. 

Hanya 30 menit kami berjalan dari Ghober Hoet hingga Pondok Saladah, kami sampai pukul 12.30 siang. Langit masih suram dan hujan. Di Saladah kami diwajibkan lapor ke petugas sebelum mendirikan tenda. Ketika melapor kami diberi pasak yang ada nomornya, untuk dipasang di depan tenda. Kami dapat nomor 047. 
Menyikapi mendung 
Aku merasa pendakian kali ini siap banget. Seminggu sebelum naik aku udah lari kecil, senam lantai, dan lain-lain. Logistik kusiapkan yang paling baik. Tapi aku ternyata masih sesombong ini: aku gak bawa baju ganti (cuma dalaman doang). Pikirku, sebelum-sebelumnya aku bawa tapi ga kepakai. Nah ya ternyata di Papandayan ini gerimis seharian dong aaaaa -___-" Meskipun sudah pakai jas hujan ternyata masih basah juga. Kerilku lebih parah, kan tadi dinaikin di atapnya angkot jadi basah juga. Aku memang belum punya raincover, tapi salahku juga aku nggak memasukkan semua bawaan dalam plastik sebelum masuk keril (biasanya plastiknya yang hitam seperti buat ngangkut sampah itu loh). Untung masih bawa, tapi iya lupa gitu ga kupakai buat membungkus barang. Akibatnya sleeping bag, kaos kaki, slayer, pada basah semua. Sedihlah.
Memang betul orang bilang. Naik gunung itu ga boleh somski a.k.a sombong. Siapkan untuk kondisi yang terburuk, karena kita nggak pernah tau apa yang akan terjadi. Yahhh, maafkan aku ya tas aku, kaos kaki aku, dan slayerku sayang. Selanjutnya aku nggak akan gini lagi koooook! Huhuuuu dinginnnn kaosnya basah. 

Karena gerimis masih hilang-ada-hilang-ada, tidak banyak yang kami bisa lakukan. Hanya mengobrol di tenda, makan, tidur, gitu aja sampai pagi hahaha.
Taken by Aldo
Minggu pagi kami sarapan mie pakai telor (udah dari lama pengen makan mie di gunung haha asik kesampaian!). Meski hujan telah reda, tapi di luar masih belum ada matahari. Aldo dengan kekuatan bersosialisasinya main ke tenda tetangga sebelah, diberi tahu kalau Saladah ini udah dekat banget sama padang edelweiss. Banget dekatnya, kepleset juga nyampe. Kami ke padang edelweiss dua kali, yang pertama pukul 8 pagi. Kami foto-foto, lalu balik tenda untuk beberes. Kemudian cuaca membaik, sudah ada matahari, kami balik lagi ke edelweiss 100 menit kemudian. Mantap jiwa! Warna pohon-pohon edelweiss jadi lebih keemasan karena ada matahari. Oh oh inikah kamu edelweiss akhinya kita bisa bertemuuuu~~~ 
Menuju Hutan Mati
Kami turun gunung mulai pukul 11.20 waktu setempat. Perjalanan turun ini akan melewati edelweiss lagi (yeay!), lalu Hutan Mati. Setengah jam saja dari Pondok Saladah kami sudah sampai di Hutan Mati, banyak orang udah di sana. Hutan Mati Papandayan kabarnya terbentuk karena erupsi pada tahun 2002. Semua pohonnya gelap batangnya, nggak ada yang berdaun satupun. Di latar belakangi gunung, beralaskan jutaan batuan kecil kekuningan, kontrasnya warna Hutan Mati membuatku ingat akan deskripsi wujud Putri Salju yang katanya "kulitnya putih merona (meski Hutan Mati ga merona ya) dan rambutnya sehitam kayu eboni".
Di tepian Hutan Mati kita juga bisa melihat salah satu kawahnya Papandayan. Well, kemarin sepanjang perjalanan naik kami ga bisa melihat pemandangan apapun karena gerimis. Bahkan di malam hari yang masih gerimis, ga bisa lihat bintang satupun. Ternyata saat cerah begini Papandayan indah banget.
Jalur turun kami beda banget dengan saat naik. Ini banyakan bertangga-tangganya. Ternyata tembusnya ya yang jalan bercabang setelah pos 7 yang aku ceritakan tadi.

"Git gak ke Tegal Alun?"
"Kami memutuskan nggak mencari Tegal Alun karena pemandangan edelweiss tadi pagi sudah cukup indah. Sebetulnya penasaran sih, tapi yaudah gitu aja."
"Atau jangan-jangan tempat edelweiss tadi Tegal Alun, Git?"
"Mungkin sih... Tapi kayanya bukan deh. Gak ada tulisannya. Sepertinya juga kurang besar kalau Tegal Alun mah. Tadi pas dari Saladah ke arah Hutan Mati ada papan penunjuk sih, mengarahkan ke kanan itu 'Tegal Alun' cuma ga jelas belok kanannya itu mana hahah jadi yaudah fokus ke Hutan Mati aja."
Di Hutan Mati lagi ada yang hidup
Untuk turun kembali ke kota kita pakai dua angkutan lagi, seperti saat naik. Pertama dengan mobil pick up, karena kami bertiga doang per orang jadinya Rp25.000,00. Turun kembali di pertigaan Cisurupan naik angkot Rp125.000,00 langsung jalan meski bertiga doang. Kalau ramean bisa lebih murah pastinja, cuma pas itu kami kayanya lupa ga nanyain harga dan baru tahu pas sampai Guntur. Yah yudah mau gimana ya~ 

Bus Primajasa kami berangkat ke Jakarta pukul 16.00 (pemberangkatan terakhir pukul 17.30). Lima setengah jam kemudian aku sampai di kamar kos. Ahhhh terima kasih Papandayan dan kawan-kawan, sampai ketemu di gunung selanjutnya ya!

Biaya Transportasi ke Papandayan

Rp52.000,00 Bus ke Garut
Rp25.000,00 Angkot ke Cisurupan
Rp5000,00 Ongkos angkut barang ke atas angkot
Rp20.000,00 Pick up ke Papandayan
Rp65.000,00 Ongkos masuk dan kemah di Papandayan
Rp25.000,00 Pick up ke Cisurupan
Rp41.666,67 Angkot ke Guntur
Rp52.000 bus ke Jakarta

Rp285.666,67 TOTAL


P & K
1. Banyak bak sampah di Papandayan, jadi terkutuklah kalian yang masih buang sampah sembarangan.
2. Banyak juga kamar mandi di Papandayan, manfaatkanlah untuk boker atau apapun tapi jangan lupa bayar ya 
3. Jangan songong kaya aku, persiapkanlah baju ganti. Masalahnya kalau baju basah kita pakai terus kemungkinan terburuknya adalah hipotermia. Untungnya ini Papandayan, sebelum masuk TWA masih ada jual kaos hihi. Jadi punya kaos Papandayan deh.
4. Bungkuslah isi keril dengan plastik untuk antisipasi kalau hujan, sehingga barang-barang di dalamnya tetap kering.
5. Papandayan bisa didaki dalam sehari. Banyak kok yang barengan sama kami naik siang sore udah mau balik.
6. Terima kasih lagi untuk Aldo dan Ka Ica atas kesabaran dan perkawanan kita ini. (ciaelah :D) Sampai ketemu lagi diiiiii mana aja boleh.
7. Terima kasih juga buat tetangga tenda, anak-anak PMI Jakarta Utara. Roti bakar dan coklat panas kalian enak banget asli -_-" manis banget semanis sambutan kalian ke kami heuheuheu maaf ga bisa ikut makan nasi liwet karena kenyang bangetttt semoga ketemu lagi 
8. Terpenting jadi yang terakhir terima kasih buat Allah karena sudah membawa aku kembali ke ketinggian itu. Ke tanah yang ditumbuhi edelweiss itu. Besok-besok mau lagi dong ya Allah~ 

OUR MOMENTS!
click to enlarge the photo