Wednesday 7 September 2016

DAOP 1: Tasikmalaya & Singaparna (1/2)

Muhun dan mual (semoga benar tulisannya). Dua kata dalam Bahasa Sunda yang sering banget kudengar Sabtu lalu saat aku melakukan perjalanan ke Tasikmalaya-Singaparna-Garut. Dua kata itu diucapkan mungkin seratur kali dalam sehari oleh teman seperjalananku, namanya bisa disebut Tama. Bisa juga disebut Tamma. Xixixix. 

Tujuanku ada tiga tempat yaitu Candi Cangkuang, Gunung Galunggung, dan Kampung Naga. Sudah direncanakan sejak lama perjalanan ini sebetulnya. Setelah melewati segala rintangan dan penundaan hari akhirnya kami dapat juga hari untuk eksekusi: Jumat 26 sampai dengan Senin 29 Agustus 2016. 

Jumat
Kami berdua gas dari rumah kos di Karet menggunakan grab car senilai Rp55.000,00 sekitar jam 10 malam menuju ke markas besar bus Prima Jasa di Cawang. Karena barengan dengan para pekerja yang pulang kantor (gak waras emang kota ini jam segitu masih perjalanan pulang, man!) jadi perjalanan Karet-Cawang ada kali tuh sejam atau sejam setengah. Tetapi saat sampai kami langsung dapat bus yang gak-pakai-lama langsung gas arah Tasikmalaya. Sebenernya target kami yang arah Garut, jadi bisa ke Cangkuang atau Kampung Naga dulu gitu. Namun kalau memang dapatnya yang ke Tasik begini, berarti tujuan pertama adalah Gunung Galunggung dulu. Baiklah~ 

Tarif bus Jakarta ke Tasikmalaya per orang Rp60.000,00.

"Mahal nggak segitu, Git?"
"Nggak sih, karena tarif rata-rata bus antar kota ya memang segitu dengan fasilitas yang juga segitunya."

Fasilitas bus ini sama seperti bus pada umumnya. Terdiri atas dua sisi tempat duduk, dengan sisi kanannya ada tiga lajur tempat duduk dan di sisi kiri dua. Tempat duduknya empuk gitu, bisa diatur kalau mau lebih landai. AC juga lancar, bagiku malah kelewat lancar.
Tetapi saat bus baru berjalan satu jam kami dapat "fasilitas tambahan" yaitu orang yang (kayanya) tepat duduk di belakang kami muntah. Dua kali dua mengeluarkan cairan dari mulutnya. Bau si enggak yah, cuma air muntahnya ngalir ke depan ke arahku, jadi kaki aku nggak bisa napak hhhhhh jijaaaaay. Capek deh ngegantungin kaki gitu ah~ 


Sabtu

Pemberhentian terakhir bus Prima Jasa

Perjalanan berangkat ke Tasikmalaya ini diiringi dengan rasa kantuk yang nyaman, aku jadi bisa enak tidur di busnya. Tidak usah menunggu waktu berganti, dia sudah jalan sendiri. 

Sekitar pukul lima lebih seperempat pagi kami sampai di tempat berkumpulnya para bus Prima Jasa. Menyenangkan bisa turun dan menyentuh udara hangat, setelah berjam-jam dingin kering karena AC. Kami langsung mencari makan sarapan yang kepagian. Tepat di seberang pintu masuk mabes Prima Jasa ada penjual bubur ayam. 

Semangkuk bubur ayam dibanderol Rp7000,00. Rasanya enak, ada taburan mericanya juga. Tapi untuk lauk hanya ada suwiran ayam, nggak seperti bubur ayam di Jakarta yang bisa ditambahkan sate jeroan. Bagian yang aku paling suka dari bubur ayam Tasikmalaya ini adalah sambal ijonya. Parah, enak banget to-the-Saturnus-and-back! Namun rasa enak sambal ijo bubur ini begitu cepat hilang karena aku langsung minum teh kesukaanku: teh sunda. Atau apapunlah nama sebenarnya. Uaaaahhhh~~ teh yang selalu kunantikan. Teh yang membuat aku suka banget kalau makan di Jawa Barat, karena rasanya terasa begitu tawar dengan warna coklat pudar yang bikin teduh mata. Pokoknya uaahhhhhhh ena ena~~ 

Itadakimasu!
Cukup mengenyangkan buburnya, meskipun berdasarkan pengalamanku bubur mah kenyangnya buat sejam ke depan doang. Wkwkwkw. Kami pun melanjutkan perjalanan ke Terminal Indihiang untuk mencari angkutan kota (angkot) warna hijau yang akan membawa kami ke Gunung Galunggung langsung tanpa diundi! Sepertinja angkot ini nggak banyak yang beroperasi, ini aja yang ngetem satu doang.

Angkot hijau jurusan Indihiang - Galunggung
Angkot hijau jalan setelah sepuluh menit ngumpulin penumpang alias ngetem di Indihiang. Di dalam angkot kami bertemu tiga pemuda (ciaelah!) Jakarta yang juga sama tujuannya, ke Gunung Galunggung. Penumpang yang sama-sama kami naik dari Indihiang tidak terlalu banyak. Tetapi di perjalanan para penumpang silih berganti naik dan turun, hanya kami berlima yang naik sampai tujuan akhir Gunung Galunggung. Penumpangnya banyak rupa, ada petani yang bawa beras dua karung, pedagang buah yang bawa keranjang buah doang, dan paling banyak itu anak SD yang pakai seragam pramuka. Ucul banget liatin anak-anak SD ini. Wajahnya masih lugu banget, pada masih segar karena bedakan. Ada yang ingusan jadi gelembung ingusnya membesar mengecil seirama dengan tarikan-buangan nafasnya, ada yang kembar, ada yang berdiri di ambang pintu kaya kernet, ada juga yang pakai kaca mata. Xixixixixi.

Kesamaan mereka para anak SD ini adalah ketika diajak ngobrol mereka ga senyum atau menjawab sepatah huruf atau tanda baca pun. -__-" Mungkin ajaran di sekolah mereka kalau diajak bicara orang asing nggak boleh jawab, entahlah. 

Berdesakan di angkot bersama para murid SD ucul-ucul wkwkwk
Perjalanan dengan angkot hijau melewati jalan-jalan sempit kota Tasikmalaya terasa singkat, mungkin hanya 45 sampai 60 menit. Aku, Tama, dan ketiga anak Jakarta diturunkan tepat di depan gerbang masuk Gunung Galunggung. Ongkos dari Indihiang sampai Galunggung adalah Rp12.500,00.

Tiket masuk gerbang untuk masing-masing manusia yang berjiwa adalah Rp6500,00 kalau sudah siang. Tapi karena kami masih pagi udah nyampe dikasih Rp5000,00 aja. Hihi asik. Dua puluh meter dari gerbang jalan sudah bercabang, yang ke kiri naik ke kawah Gunung Galunggung dan yang ke kanan datar ke pemandian Cipanas dan air terjun Galunggung. Aku dan Tama pilih ke kiri, yang nanjak dulu. Untuk perjalanan ke kawah Galunggung bisa ditempuh dengan jalan kaki atau bersama abang ojek kalau tidak salah Rp15.000,00. Kata para abang sih ke sana sekitar 3 km. Entahlah benar atau nggak, kayanya sih lebih lah~

Sejak kami memilih jalan ke kawah Galunggung jalananan terus menanjak. Hanya ada beberapa meter yang cukup datar. Tetapi jalannya rindang dan sangat sejuk, seperti gambar-gambar yang selama ini cuma bisa kulihat di desktop windows. Xixixix. Warna daunnya hijau segar. Di pertengahan jalan kami bertemu dengan entah lutung atau kera, aku kurang tahu bedanya. Sekedar bergantungan di pohon saja mereka, membuat ranting menggayut-gayut.

Windows desktop :D
Sepanjang jalan menuju kawah, akan ditemukan dua pos. Pos pertama berupa jalan datar yang ada dua warung. Setelah pos itu akan ada jalan bercabang lagi, yang ke kiri ke sumber air (nggak kesana) dan yang ke kanan ke arah kawah. Pos kedua berupa gazebo kayu saja, bersebelahan dengan tempat parkir (sebut saja parkiran bawah). Di pos kedua itu pun jalan juga bercabang, kita tinggal pilih. Kalau lewat kanan aksesnya adalah pasir bertangga-tangga yang ditahan bambu, kemudian agak di atas adalah pasangan batu kali sampai parkiran atas. Kalau lewat kiri jalannya seperti di awal, sama menanjaknya, sama beraspalnya. Namun kedua jalan itu akan mengantarkan ke tempat yang sama yaitu warung-warung di area parkiran atas.


Pos kedua
Namun sayangnya seperti kebanyakan tempat wisata, ada coretan dari manusia-manusia bertangan jahil. Di tiang listrik, di atas perkerasan jalan, maupun di pasangan batu yang bisa dibuat duduk. Aku sungguh nggak ngerti kenapa mereka nulis-nulis nama di sini. Dikira lagi UAS apa -_-"

Jalan setelah pos kedua pasir yang ditangga-tanggakan 
Perutku dan Tama kompakan kelaparan sesampainya di parkiran atas. Bubur ayam tadi rasanya sudah setahun yang lalu kami makan. Sekarang adalah saatnya makan gorengan di ketinggian. Yehah~
Tama yang lama tinggal di Bandung jadi banyak ngerti Bahasa Sunda santai ngajak ngobrol ibu pemilik warung. Aku yang lama di Malang nggak paham mereka ngomong apa. Yang aku pahami cuma gorengan tahunya enak banget. Sempurna rasanya dengan cabe ijo. Tahu tersebut per bijinya seharga Rp1000,00. Selain tahu ada juga lontong dan pisang goreng warna orange, dengan harga yang sama Rp1000,00. Sebagai bekal untuk ke kawah kami juga membeli dua botol air mineral 600 ml seharga Rp5000,00.

Dari warung menuju dataran yang lebih tinggi kami harus menaiki 620 anak tangga. Ada juga jalur tanpa tangga, naiknya di sebelah musholla. Tetapi kami pilih tangga karena 'kami pikir' dengan tangga bakal lebih ringan. Ternyata nggak juga loh. Hihihi.

Saat naik tangga inilah pemandangan di balik punggung kita

Lelah dan peluh pastinja kerasa banget saat naik tangga. Dua kali kami berhenti untuk beristirahat, sambil menengok ke belakang karena pemandangannya adalah kota Tasikmalaya yang dipayungi awan tipis. Ketika sudah sampai di atas senang bangeettt. Apalagi saat memandang ke kawah, semua lelah dan peluh terlupakan. Hijaunya kawah, mungkin karena gangga, tenang tak beriak. Sepuluh menit saja kami menikmati kawah dari atas, selanjutnya kami memutuskan untuk turun ke kawahnya.

Kawah Galunggung super keren
Jalan untuk turun pun serba bercabang. Saran aku mah kalau masih muda pilih aja yang cepat, yang curam. Jatuh dikit gapapa lah, kepleset sekali dua kali okelah.

Pleaseeeee don't leave anything but footprint and don't take anything but photograph
Jalur untuk kembali ke dataran di atas bisa dengan melalui jalan yang sama. Tapi supaya lebih seru, aku pakai jalur yang berbeda. Saat turun jalur yang kutempuh adalah tanah-tanah yang sudah dipadatkan, beberapa sudah ditangga-tanggakan. Saat naik, si Tama memilihkan jalur curam berpasir, mungkin kemiringannya ada kali tuh 25˚. Sekitar 1 km jalur itu kami tempuh, kemudian pasirnya sudah jadi tanah biasa dan perlahan sedikit melandai. Sedikit aja tapi. :p

Jangan lupa main di sini pas turun ke kawah karena asli segar banget mas dab!
Destinasi selanjutnya tentu saja adalah air terjun Galunggung. Perjalanan untuk turun ke jalan yang bercabang ke air terjun sekitar 1 jam. Kudu sabar dan tawakal sama seperti saat naiknya, karena jalur yang terus turun juga menambah beban untuk kaki kita jadinya bikin capek juga.
Dari percabangan awal masuk jalan kaki sekitar lima belas menit menuju kawasan air terjun Galunggung dan pemandian air panas.

Sama seperti menuju kawah, ada lahan parkir dan penjual makanan berjajar sebelum kita memasuki kawasan pemandian air panas. Di sini banyak juga para bakul buah tangan. Kalau di dekat kawah hanya ada satu bakul yang menjual kaos buah tangan dan gantungan kunci, di sini berjajar penjual kaos yang Galunggung banget. Harganya rata-rata sama, motifnya pun rata-rata sama juga.

Bermacam kaos buah tangan Galunggung
Perjalanan dari parkiran menuju pemandian kita akan melewati warung-warung lagi yang berjajar di kanan dan kiri, kebanyakan menjual makanan. Makanan yang paling khas yang dijual ada sayur yang disiram bumbu pecel. Tetapi komposisi sayurannya nggak seperti yang kujumpai di Kota Malang-ku. Sayur yang familiar bagiku adalah kecambah, selada air, dan kangkung. Namun di sini ada tambahan labu siam, sayur gendot, dan rombeh atau bunga kecombrang. Sayur yang kusebut terakhir adalah macam sayur yang menurutku menjadikan pecel di Galunggung ini beda dengan pecel lain, karena rasanya seperti kencur. Mulanya kukira bumbu pecel ini ada kencurnya. Tapi setelah dirasakan lebih jauh ternyata asalnya dari sayur ini! Wow cool. Seporsi pecel harganya Rp5000,00 tanpa nasi. Kalau mau nasi tinggal minta aja sama ibu penjualnya. Enak banget pecelnya, aku sukak! Kalau ke Galunggung jangan nggak beli ini deh pokoknya!

Para sayur yang mengorbankan dirinya untuk disiram pecel
Penemuanku tentang makanan bukan hanya pecel ini, tetapi juga pisang hurang dalam wujud masih buah. Itu loh, yang warnanya oranye (ada gorengannya di warung arah kawah). Aku membeli satu buah seharga Rp3000,00. Ternyata rasanya agak beda sama pisang yang kumakan biasanya. Ada asamnya, juga lebih lembek. Ukurannya pun lebih gendut-gendut daripada pisang biasanya.

Pisang hurang bergelantungan~
"Cuma ada di Tasikmalaya atau gimana tuh, Git?"
"Entahlah, Squidward....."

HTM pemandian air panas dan air terjun jadi satu, yaitu Rp10.000,00. Aku yang tidak membawa celana ganti (bego, jangan ditiru) gak bisa ikutan berendam di pemandian. Padahal sepertinya nyaman banget berendam di situ, kaya lagi di ofuro di manga-manga. Kata orang pun pegal-pegal bisa hilang. Akhirnya aku cuma duduk-duduk santai di gazebo sekitar pemandian, menjagakan barang-barang si Tama. Sempat ketiduran sebentar...
Satu hal yang tidak bisa dilakukan di pemandian ini adalah pipis dengan nyaman, khususnya untuk perempuan kali ya. Kamar mandi kurang terawat, sebut saja kotor. Lampu kaga ada (untung bawa headlamp) semua, kalau pun terang kamar mandinya itu karena pintunya berlubang. Gawat di kita juga kan kalau pipis dengan pintu berlubang ya -_-. Akhirnya nemu satu yang pintunya bener, meskipun kaga bisa dikunci (zzz).

Salah satu papan peringatan di area pemandian (kiri) dan tampak pemandian di sisi hulu sumber (kanan)


"Nggak semua orang yang ke Galunggung bakal ke air terjun Galunggung tahu, Git. Hanya yang dapet ilham aja!" Tama bersabda. 

Ternyata dari pemandian kita bisa berjalan ke arah hulu sungai untuk mencapai air terjun Galunggung. Juga kita tidak harus menapak di batu di tepi sungainya untuk berjalan, karena dasar sungai yang merupakan sumber pemandian itu cukup cetek alias dangkal. Paling tinggi hanya setinggi lutut orang dewasa. Saranku sih pakai aja jalur ini, karena enak banget loh kaki terendam air sungai begini. Hihihi asik.

Papan penanda pertama akan ada di sebelah kanan dengan panah ke arah kiri bertuliskan "AIR TERJUN 250 M". Kalau kita ikuti papan tersebut, jalur selanjutnya bukan lagi sungai tetapi sudah memasuki hutan teduh. Tentunya jalannya sudah ada yang dirapikan. Tidak usah khawatir akan nyasar karena papan penanda terus ada hingga kita sampai di air terjunnya.

Air terjun Galunggung
Kalau melihat di gambar kaos yang dijual sebagai buah tangan sepertinya dulu air terjun ini lebih tinggi. Mungkin disitu ada patahan aktif atau apa, jadi nggak tinggi lagi terjunnnya (sotoy).
Air terjun Galunggung yang tersembunyi, dengan suara yang sedikit teredam entah oleh apa...
Aku takjub melihat air terjun ini, nggak menyangka lokasinya yang di sebelah kiri, nggak segaris lurus dengan sungainya. Surprise gitu loh! Sendu banget suara airnya, rasanya pingin berlama-lama~

Tetapi si Tama hanya membiarkan aku bengong lihatin air terjun selama semenit saja. Kata doi udah mendung mau hujan, selain itu aura di sana negatif. Hahaha-___-" Saat itu di sana memang sepi banget sih, hanya ada kami berdua. Tapi sepinya bukan yang singup gitu kok~

Dedengkotnya Chatime
Kembali ke gerbang depan kami menempuh jalur yang sama, menelusuri sungai kemudian warung-warung penjual pecel. Kami sempat berhenti untuk beli pop ice rasa permen karet. Aku yang nggak suka minuman berwarna, jadi pingin lantaran teringat masa-masa sekolah pas ikut bimbel. Minuman ini kan kayanya hits banget saat itu! Bodo amat dengan pemanis buatannya. Mihihihihi.

Aku baru buka pisang hurang saat balik dari pemandian ke gerbang depan
Namun perjalanan pulang nggak semulus berangkatnya. Kami sampai di gerbang depan sekitar pukul 16.00. Menunggu lima belas menit nggak kunjung lewat juga angkot hijau yang bisa membawa kami kembali ke Terminal Indihiang. Usut punya usut, kami baru tahu dari mamang-mamang para penjaga gerbang bahwa angkot tersebut cuma sampai jam 3 sore beroperasinya (si Tama tadi ditanya pede banget sih jawab katanya "sampe jam 12 malam juga ada." -___-, jadilah kami super nyantai main di Galunggungnya).
Aku sedih banget ketinggalan angkot begini. Hujan pula! Emmmmm~~ Salah seorang mamang sih menawarkan ojek sampai Indihiang, berdua Rp50.000,00 dengan jas hujan. Tapi kubilang ke Tama, aku masih optimis itu angkot bakal lewat! "Kita tunggu sampe jam lima deh, Tam."

Tentu saja keoptimisanku adalah sebuah bentuk ketololan manusia yang nggak mau menerima kenyataan bahwa angkot hijau sudah nggak lewat lagi. Ditambah hujan yang makin deras, makin nggak jelas kepulangan kami ini seperti apa. Tama kembali menanyakan ke Mamang, apakah penawaran tentang ojeknya tadi masih berlaku? Alhamdulillah Allah masih baik banget penawarannya masih berlaku, tetapi ojeknya mau jalan kalau hujannya udah redaan. Baiklah. Kami pun sekarang berganti menunggu hujan reda, bukan lagi angkot hijau.

Kacang kedelai pedas paling enak se Tasikmalaya buat hiburan nunggu hujan reda 
Hujan sempat mengecil sedikit sekitar pukul setengah enam, maka di saat itulah kami bilang ke mamang: "Yak sekarang aja mang ke Indihiang, gas!" Meskipun tidak reda betul, tapi perkiraan kami di Indihiang bisa jadi kering. Kan juga pakai jas hujan. Bisalah~

Bagian teraneh di episode naik ojek ini adalah ternyata ojek yang dibilang berdua Rp50.000,00 dengan jas hujan adalah maksudnya satu motor berdua. Oh, bertiga sama abang ojeknya. Gile. Motornya motor cowo jaman dulu gitu deh. Asli kaget deh, jadi aku kudu berdempetan dengan mereka para lelaki ini di motor itu begitu? -_- Tapi cepat-cepat juga aku naik ke motor, keburu hujan lagi. Masalah jas hujan ini juga ternyata jas hujan kelelawar abang ojeknya kan ukurannya segitu-gitu aja, cuma ada satu pula. Mungkin doi kira bakal bisa menaungi aku dan Tama yang dibonceng ini, tapi ya nggak sama sekali. -_-" Yah ini mah jas hujannya buat mamang ojeknya doang zzzz. Eh udah gitu ga pake helm lagi. -_-" Rasanya insecure deh. Mana kecepatan dan teknik menyetirnya doi udah kaya pembalap MotoGP gitu. Pasrah deh.

Aku duduk di tempat paling belakang :-|
Sepertiga perjalanan pertama kami masih dinauingi gerimis. Sepertiga yang kedua kering banget. Aku dan Tama yakin di Indihiang bakal kering. Tetapi kami salah besar. Justru di sepertiga perjalanan terakhir ini hujan besar, lebih lebat dari yang di Gunung Galunggung. Kelebatan ini stabil hingga kami tiba di Indihiang, sekitar jam-jam maghrib. Kami merasa jadi sangat lembek dan layu terus menerus diterpa air hujan. 

Ke Indihiang ini kami bertujuan mencari kendaraan yang akan membawa kami ke Garut, mendekati destinasi kami selanjutnya yaitu Kampung Naga dan Candi Cangkuang. Kami berencana menginap di sana saja. Sesampai di Indihiang kami masih harus berjalan 50 meter lagi untuk mencari elf yang
ke Singaparna. Kata orang-orang yang kami tanya bus yang dari Indihiang ke Garut sudah nggak ada jam malam segini, jadi lebih baik kami ke Singaparna dulu karena di sana ada bus Singaparna - Jakarta. Bus tersebut bakal lewat terminalnya Garut yaitu Terminal Guntur, tempat yang gampang untuk nyari angkot keliling Garut. Yeahhhh!

Elf ke Singaparna ini gelap dan ada kecoanya. Aku dan Tama berjuang menggantungkan kaki kami agar tidak dijadikan lintasan permainan kecoa. Bukan apa ye, geli aja gitu dilewatin kecoa kan. -_-" Elf ini mengantar kami sampai Singaparna seharga Rp20.000,00 masing-masing penumpang. Waktu tempuh kalau tidak salah satu jam kurang dikit. Dikit aja. 

Meskipun melembek karena hujan, aku masih sangat semangat untuk menyongsong Garut. Tetapi Tama yang juga melembek sepertinja udah berantakan banget mood-nya. Apalagi makanan terakhir yang kami telan hanyalah gorengan tahu dan kacang kedelai pedas saat menunggu hujan di gerbang Gunung Galunggung tadi, doi udah berpikiran tentang masuk angin aja. Tama pun mewanti-wanti agar di Garut nanti kami nginapnya di Favehotel (by Aston) aja. Aku yang sebenarnya nggak setuju, pengennya di wisma biasa aja biar murah, tapi melihat doi basah gitu jadi ga enak hati untuk menolak. Xixixix.

Bus Singaparna-Jakarta yang kami tumpangi ini namanya Karunia apa gitu, berangkat paling awal di jam delapan malam. Kondekturnya wangi loh, info aja. Hahaha. Di dalam bus menuju Garut kami berdua menggigil kedinginan, tahulah AC di bus kan dingin banget. Sambil makan ayam untuk mengisi perut (wajib diketahui: kalau habis kehujanan, perut jangan sampai nggak kemasukan makanan karena rawan masuk angin!) aku  melihat keluar jendela, jemariku menyentuh kacanya. Gelap, tapi ada sekelebat pandangan pinggir jalan. Di luar masih hujan. Baiklah. Setidaknya kami sudah basah, nggak akan ada yang lebih buruk dari kondisi sekarang kecuali ada godzilla lewat ngiler diatasku sampai badanku lengket menjijikkan.

Sang penyelamat
Ayam goreng saja ternyata cuma jadi iklan lewat di perutku. Sesampainya di Terminal Guntur aku dan Tama langsung beli nasi goreng untuk makan yang sebenar-benarnya. Meskipun kembali berbasah-basah tapi akhinya kami keluar dari ruangan AC, setengah jam di dalam sana gigi kami bergemeletuk.
Seporsi nasi goreng kurang asin membuatku bertenaga kembali. Entah Tama, doi makannya ga habis. Katanya sih kebanyakan.

Sebelum berangkat, jauh hari kami sudah mencari di internet kira-kira penginapan macam apa yang bisa kami sewa untuk bermalam. Salah satunya adalah Favehotel di Cimanuk, ke situlah kami langsung menuju begitu selesai makan nasi goreng. Kami menggunakan taksi dengan argo. Abang taksi awalnya menawarkan tanpa argo untuk nyari hotel Rp40.000,00. Tapi kata doi harga segitu tidak paten apabila dia rasa jaraknya tempuhnya sudah lebih dari Rp40.000,00. Hemmm yaelah bang plislah masa ya tarif pake perasaan! 
Sampai di Favehotel ternyata kamar kosong sudah nggak ada. Pak satpam Favehotel mengarahkan kami ke Ramayana Hotel atau Suminar Hotel, dua hotel terdekat dari situ. Pak sopir taksi langsung gas membawa kami ke Suminar Hotel terlebih dahulu. Ternyata di sana ada dua kamar kosong, tapi kelasnya yang Deluxe! Harga kamar semalam Rp425.000,00. Tama mengiyakan bermalam di sana, jadilah kami memilih hotel tersebut. Tarif taksi sampai Hotel Suminar ini Rp50.500,00.

Satu kamar berisi dua tempat tidur yang masing-masingnya ukuran double. Aku langsung menyalakan AC dan menebar semua isi tasku di atas kasur. Mereka sama lemah tak berdaya sepertiku karena kehujanan sejak turun dari Galunggung. Tasku kugantung di pintu lemari. Kalau dilihat-lihat kamar ini jadi seperti pesawat yang habis meledak kena kipas angin raksasa. 
Setelah mandi aku langsung merebahkan diri, bersiap untuk tidur. Di luar masih terdengar suara hujan. Akhirnya datang juga saat seperti ini hari ini, hanya mendengarkan suara hujan karena aku sudah berlindung di dalam ruangan, nggak di luar kehujanan seperti tadi sore. Nyaman banget ketemu kasur. Lebih dari itu, aku senang bisa kembali kering.



Bersambung ke DAOP 2: Garut & Singaparna (2/2)


Keterangan
DAOP: daerah operasi 

6 comments:

  1. Rasanya pasti seru banget ya git.

    Semacam petualangan dora tapi tidak ada tas ransel serba adanya.

    Kalian banyak ngeluarin uang tidak perlu ya, tapi mungkin itu yang namanya berpetualangan di kota orang.

    Jadi pengen jg

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwkwkw yang mana ik yang gak perlu? Maafkan kita OKB (orang kaya baru) ik, jadi alay pake duitnya. LOL

      Delete
  2. Ceritanya lucu. Seru juga. Narasinya yg panjang dan jujur kayak bikin aku ikut jalan bareng kalian.

    Mbak Gita dari Malang? Coba deh mampir ke artikel ku pas di pantai Goa Cina. Ini link nya.

    http://bangyandi.com/weekend-di-pantai-eps-1-pantai-goa-cina/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bang saya besar di Malang hahah oke nanti saya baca bang makasi sudah mampir :D

      Delete