Wednesday 22 March 2017

Berlibur ke Timur: Sekitaran Senaru (3/5)

Masih #Matarammodeon

Perjalanan saya di Mataram memasuki hari ketiga. Saya masih menginap di rumah kawan semasa kuliah saya yang namanya Iik, lokasinya di dekat Jalan Udayana.
Hari ini kami berencana main ke utara, spesifik ke air terjun! Kami bakal ditemani kakaknya Iik yang bernama Mas Beni dan Mba Westri, mereka berdua ini udah suami istri lohhh euuuhhhh #gitapadeh. Kami berangkat pagi-pagi benar, karena kata Mas Beni (doi ini sudah sangat berpengalaman ke tempat-tempat kewl di Lombok) ke utara itu jauh. Banyak tempat bagus, jadi kalau nyampenya kesiangan rugi cuma dapat sedikit tempat. Paling tidak perjalanannya saja 3-4 jam. Malamnya sih dibilang jam 6 pagi besok udah kudu di depan rumah Mas Ben, namun ternyata besoknya kami jam 7 baru sampai sana hihi.

Kami berangkat pukul 07.25 dari rumah Mas Ben. Setelah menjemput pasutri romantis tersebut kami berempat coba cari sarapan di sepanjang jalan. Asli susah banget! Catat ya, di Mataram susah nyari orang jual sarapan haha. Jarang ada gitu loh, hanya beberapa saja. Untungnya kami akhirnya nemu orang jual nasi kuning (enak banget!) meskipun doi masuk di gang gitu.
Perjalanan menuju utara ini saya melewati Pantai Batulayar, Pantai Senggigi, Pura Batu Bolong, Dusun Nipah, Bukit Malimbu 1 dan 2, dan juga dermaga yang bisa dicarter menuju ke Gili Trawangan. Dermaga yang ini punya swasta. Kalau yang lebih ramai itu yang di Bangsal, punya pemerintah. Oiya di sepanjang penyeberangan ke Gili Trawangan ini kami banyak menemui resort-resort gitu, jadi ga usah khawatir jadi homeless kalau rencana ke Trawangan.

Sampailah kami di Sendang Gila dan Tiu Kelep
Di utara pulau Lombok ini yang paling bikin saya penasaran adalah Air Terjun Mangku Sakti sebetulnya. Tapi kami ternyata terlalu siang berangkat jam 7 itu, jadi hari ini cuma dapat dua air terjun yaitu Sendang Gila dan Tiu Kelep. Kedua air terjun tersebut berada di satu kawasan, pintu masuknya pun sama. Kami sampai di parkiran sekitar pukul 10.14 WITA. Per orang biaya masuk ke kawasan air terjun Rp5.000,00. Tujuan kami pertama yaitu Sendang Gila dulu, karena jalanan ke sana lebih baik. Sayangnya seperti semua kawasan wisata yang sudah saya kunjungi, masih banyak aja tangan jahil yang nulis 'Nyenyo waz here' atau 'Util love Kutal' de el el. Hih ngerusak pemandangan aja! Sungguh ya, sebuah kekontrasan negatif banget antara tulisan-tulisan tersebut yang ditulis dengan semacam tipe-x dengan rimbun hijaunya pohon selama perjalanan. Saya emang cuma bisa gemas aja, gak inisiatif juga bawa thinner atau pembersih semacamnya. Well, maaf ya saya cuma jadi tamu yang mengutuki ketololan tamu lain. #kokjadiserius

Pandangan sisi kiri jalan menuju Sendang Gila
Di sekitar Sendang Gila banyak orang jual gorengan, pop mie, dan makanan ringan yang enak dibeli pas suasana piknik semacam ini. Kata Iik yang paling enak itu pisang gorengnya, coba deh dibeli satu. Entah enak karena kita bakal basah-basahan di air terjun atau emang enak dari sononya gatau juga hihi.

Saya dan Iik langsung menyerbu air terjun ketika sampai di Sendang Gila-nya, Mba Westri dan Mas Ben nggak. Segar banget airnya, dingin langsung menyergap kaki ketika saya menyentuh tepian sungainya. Saya mencoba menirukan posisi seorang bapak-bapak, beliau sengaja menaruh punggungnya di bawah air terjun. Tapi nggak lama, soalnya sakit banget asli airnya kaya sedang meng-kamehameha.   Padahal saya malah pengennya semacam semedi gitu di bawah air terjunnya. Kok tapi itu bapak-bapak bisa tahan ya?
Sendang Gila
Saya rasanya nggak pingin pindah tempat dari Sendang Gila ini, karena kesegaran dan kejernihan airnya yang bikin mata adem. Tapi kata Iik kami kudu berpindah karena Tiu Kelep bakal lebih bikin saya ternganga-nganga! Wow. Penasaran!
Sendang Gila from below
Jalanan ke Tiu Kelep memang lebih menarik, kita tidak akan menemukan jalan yang sudah rapi seperti ke Sendang Gila. Tapi kita bakal ketemu jembatan yang dibawahnya ada saluran, pintu air untuk irigasi, bendung, dan juga dua kali kita kudu menyeberang sungai. Sejauh ini saran saya kalau ke sini gunakan saja sandal gunung, terikat erat di kaki tapi aman untuk basah-basahan. Kita pun nggak perlu lepas-pasang kalau melewati sungai begini yekannn.
Jembatan cerah menuju Tiu Kelep haha
Mendekati air terjun batu-batu semakin licin permukannya, kudu lebih hati-hati dalam melangkah. Saya nggak bisa merekomendasikan mana enaknya pakai sandal atau nggak pakai, karena kalau nggak pakai saya rasa kaki kita lebih licin ya. Tapi kita jadi bersentuhan langsung jadi seharusnya reflek-reflek gitu lebih cepat kita lakukan. Tapi kalau pakai sandal (saya sih pakainya sandal gunung) lebih kasar, seharusnya nggak lebih banyak resiko untuk terpeleset. Terserah aja nyamannya kaya mana. Saya sih pilih lepas sandal, enak aja gitu kembali merasakan dinginnya batu sekitaran air terjun, mereka semua lembab. Batu-batu itu maksudnya.
Wet Stage called Tiu Kelep
Tiu Kelep seperti sebuah panggung gigs yang semua penontonnya boleh aja dekat-dekat dengan pemusiknya saat mereka sedang memainkan sebuah lagu. Saya dan Iik ibarat penontonnya, yang langsung menyeret kaki-kaki besar kami ke arah panggung. Musik yang dimainkan jauh lebih magis dari Remedmatika, gaya ke-ballad-ballad-an, atau folk masa kini. Suara terjunan air adalah melodi sekaligus lirik-lirik kaburnya. Kami berdua, berempat sih kali ini dengan Mba Westri dan Mas Ben, menikmati dinginnya air sambil tertawa-tawa. Apa yang kami tertawakan ya? Saya juga lupa.
Tiu Kelep from below
Di bawah air terjun, tempat dia jatuh, secara alami terbentuk kolam dengan air yang sangat jernih. Kalau bisa berenang pasti nyaman banget deh bisa membelah air yang begitu jernih; saya nggak bisa menikmati satu hal ini karena memang nggak bisa berenang. Saya cuma main air sebisanya (bisanya heboh!) dan foto-foto sama Iik.
Semakin siang semakin banyak tamu yang datang. Tamu tersebut ada yang orang pribumi, banyak juga yang turis mancanegara. Saya rasa turis-turis tersebut bakal merasa tempat ini sangat worth it untuk dikunjungi, karena keindahannya dan kesegaran air terjunnya sama serunya dengan jalur masuknya yang nggak bikin bosan.
Sisi hilir Tiu Kelep
Saya bahkan sempat lupa kalau masih pengen ke Mangku Sakti, keinginan saya teralihkan oleh keindahan Tiu Kelep. Namun keinginan yang nggak terpenuhi ini nggak menjadikan sesal di hati lantaran di Tiu Kelep sudah indah banget begini. Saya hanya berkata dalam hati: kapan-kapan kalau ke sini kudu bisa ke Mangku Sakti lalu ke tiu-tiu lainnya. Yey amin~

Kami mengakhiri main-main air di Tiu Kelep siang hari. Untuk perjalanan baliknya (setelah jembatan) kami memilih lewat saluran saja.

"Git, lewat saluran? Got gitu?" 
"Hahah iyaaaa jadi biar jalannya lebih cepet dan gak naik turun bisa banget lewat saluran. Memang gelap, kudu hati-hati juga melangkahnya karena dasar salurannya gak terlalu halus. Tapi asli lebih cepet, rekomendasi banget deh lewat sini mah!" 
Di hilirnya Tiu Kelep ada terjunan lagi yang menggoda banget untuk diserbu
Kami sampai kembali di parkiran pukul 14.41. Saya dan Iik segera mandi (ada pemandian umum gitu di sana), sholat, kemudian makan di warung sebelah kamar mandi. Saya terheran-heran loh saat bayar makan. Cuma Rp10.000 kalau ga salah, padahal saya makan nasi dengan tiga menu lauk. Setidaknya ini kan lokasi pariwisata terkenal, saya kira warung makan gini doang bakal habis banyak Ternyata tidak.
Yah meskipun biaya parkirannya mahalan, Rp10.000,00 per mobil, sungguh berimbang dengan harga makannya yang murah. Enak pula~
Jalan pulang kami
Kami pun meneruskan perjalanan naik lagi, yaitu ke Senaru lewat Geopark Rinjani. Lokasi selanjutnya ini lebih dikenal dengan Kebon Kopi. Sebetulnya tempat ini adalah atasnya Tiu Kelep. Jadi ada sebuah teras (sebagai anak Sipil saya pengen menyebutnya teras kantilever) dari kayu gitu. Dari terasan itu kita bisa lihat Tiu Kelep dari atas, yang dikelilingi pepohonan rapat. Jalanan menuju sana itu ngelewatin kebun kopi makanya kenapa dikenal dengan Kebon Kopi hihi. Biaya masuknya seikhlasnya saja, tapi kita dianjurkan untuk menulis nama dan asal di buku tamu. Oiya ada yang jagain loh buku tamunya itu, namanya Rum. Kebetulan saya sempat nanya namanya saat masuk.
Turun gunung
"Tunggu Git, Geopark Rinjani? Kok Rinjani?"
"Iyaaa jadi jalan masuk ke Kebon Kopi ini tak lain adalah jalur turunnya Rinjani. Kebanyakan orang lewat sini (kata Mas Ben) untuk turun dari Rinjani. Saat menuju sana pun saya sempat ketemu dengan seorang perempuan yang nampaknya sedang turun gunung, di belakangnya ada seorang porter yang memikul bawaannya. Setelahnya juga kami bertemu pick up yang membawa bule dan porter-nya."
Tulis nama dan masukkan berapapun di Kebon Kopi
Well, seenggaknya saya datang ke Lombok ini bisa menapakkan kaki di kakinya Rinjani dulu. Suatu hari nanti akan mendakinya, kemudian menikmati indah puncaknya. Amin aaahhhhhhhhhhhhhhhhh~

Cukup ramai di Kebon Kopi. Kebanyakan adalah remaja gitu deh yang lagi dimabuque chintah. Datang berpasangan. foto pakai tongsis berdua, becanda-canda manjaaaaaaa. Uuuuuh~ Saya tanya mereka asalnya dari mana, jawabnya dari Mataram juga. Lagi kuliah gitu.
Dari terasan Kebon Kopi ini saya bisa mendengar suara pengunjung di Tiu Kelep di bawah sana. Tadi pas kami di bawah pengunjung di sini dengar suara kami gak yah?

Kelihatan kan saya yang mana? :D
Dengan jalur yang sama kami menuruni Kebon Kopi sampai ke Desa Adat Senaru. Lokasi desa tersebut pas di samping parkiran. Biaya masuknya sesukanya saja (yang penting ikhlas ), dimasukkan dalam kotak di dekat gerbang masuk. Sama seperti di Kebon Kopi, ada juga buku tamu untuk diisi. Namun baik kotak duit maupun bukunya nggak ada yang jaga, jadi isi nggak isi terserah aja. Sepi banget sih asli ini Senaru, entah kami kesorean datangnya atau memang di sini sepi pengunjung. Hanya kami saja di dalamnya, tidak ada pengunjung lain. Penduduk aslinya hanya kami temukan dua orang, kami hanya ber-permisi karena sedang berada di kawasan mereka.
Sunyi sepi
Saya kira bakal ada semacam pemandu, tapi nggak ada juga. Ya sudah. Kami berkeliling semau kami sendiri, berjalan di atas jalan selebar 50 cm yang sudah dirapikan dengan pasangan batu. Foto-foto ceria, berbincang di antara jerami yang disandarkan di dinding tiap rumah. Ketika melewati kandang sapi kami nggak bertemu dengan sapinya. Anyway, saya nggak paham atap dengan lumbung yang banyak saya lihat di Desa Sade dan Mataram kok nggak dipakai ya di sini. Atap di sini memang masih sama bahannya, macam jerami gitu. Tapi bentukannya limasan biasa aja.Mungkinkah ada tempat lebih canggih yang mereka miliki selain di atap?

Itu saya lagi apa ya?
Perjalanan balik pulang ke Mataram kami lewat Tanjung, Ibukota Kabupaten Lombok Utara. Di Tanjung ini ada sate yang kata Iik enak banget, doi sih nyebutnya Sate Tanjung.

"Git kaya apa sih Sate Tanjung itu?"
"Sate lilit gitu deh, sate ikan." 

Saya suka banget makan ikan, saya merasa sangat penasaran sama sate ini. Ternyata rasa penasaran ini pun terbayarkan oleh lebih dari sekedar kata puas, karena sate ini enak banget! BH-anget! *#@&$^@*^$(!@# Harganya pun murah, hanya dengan Rp10.000,00 kita dapat 8 tusuk. Kalau yang pepesan satu biji harganya Rp2000,00, ada yang fillet fish ada yang kepala ikan. Kalau mau lontong juga ada, kalau pas ada ya. Di antara dua macam pepesan dan satenya sendiri saya pilih pepes fillet-nya. Enak banget bumbunya! Saya sampe ngga tega makan yang bungkusan terakhir, tapi gimana atuh masa mau ga dimakan yaaaa kalau basi malah sayang heuheuheu.
Potret Sate Tanjung
P & K
1. Di manapun kita berada; kudu jaga kebersihan! Sampah bukan cuma botol bekas, plastik bekas, atau bungkus nasi. Tapi juga coretan-coretan jahil gak penting! Bikin jelek pemandangan tahu nggak... :(
2. Bawa baju ganti jangan sampai lupa kalau ke wisata air terjun karena pasti kita bakal menyerbu air terjunnya! Nggak mungkin enggak~
3. Kalau balik dari Tiu Kelep pengen lewat saluran juga saya sarankan bawa headlamp, meskipun salurannya nggak ada percabangan tapi lebih baik kita bisa lihat medan di depan.
4. Untuk mencapai Kebon kopi jalan masuknya sedikit menanjak. Memang tidak terlalu panjang, tapi cukuplah untuk 'pemanasan' haha jadi kudu semangat yaaa. 
5. Terima kasih untuk Mas Ben dan Mba Westri yang sudah meluangkan waktu untuk kembali melihat Tiu Kele dan Sendang Gila entah untuk kesempatan ke berapa, kebaikan kalian semoga Allah yang bisa balas dengan lebih baik. Tak lupa untuk Iik... cium dan peluk selalu buat kamu, Ik! :-* Jangan kelamaan jadi jombs. Hahaha.
6. Pemandangan di Lombok Utara khususnya Senaru memang sayang banget jika tidak diabadikan. Tetapi jangan sampai terlalu fokus ambil gambar, nikmatilah Lombok utara senikmat-nikmatnya. Enjoy! :) 


THE BEAUTIFUL NORTH LOMBOK 
(direct cursor to the photo to read caption or click to enlarge the photo)











































 

 

 

 

 

 



 



5 comments:

  1. Pertama git, nama mas dan mbakku itu mas beni dan mbak westri.

    Kedua, yang kita makan itu nasi kuning, bukan nasi pecel. Suwon.

    Ketiga. Please itu photo akhir tahunnya 😂😂😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwkwk maaf mba YYQ udah saya revisi sesui arahan mba YYQ yhaaa.

      Knp sama foto itu? romantis ya kita. hihihi semoga 2017 makin intim. LOL :p

      Delete
  2. Git.....kamu harus bertanggungjawab karena aku dadi kepingin satenyaaaa T.T

    ReplyDelete
    Replies
    1. segera beli yus SEGERA KE LOMBOOOOKKK GUASSSSSSSSSSSSSS :-*

      with Love,
      Gita

      Delete
  3. Git, ke luar negeri dong,

    Honeymoon, bareng aku, <3

    ReplyDelete