Sunday 13 March 2016

Purwakarta Istimewa

Banyak orang bertanya-tanya: Purwakarta apa beda sama Purwokerto?
Dulu aku kalau ditanya begitu juga bingung jawab apa, malah aku juga pernah bertanya hal yang sama. Tapi itu dulu. Itu dulu. Sekarang sudah nggak, karena aku sudah tahu jawabannya. Purwakarta itu jelas beda sama Purwokerto, karena Purwakarta di Jawa Barat dan Purwokerto di Jawa Tengah.

"So where do we go now?"

"Kok bisa tahu, Git?"

Sabtu kemarin aku sudah menapakkan kaki di Purwakarta, naik kereta api dari Jakarta (my current city) tujuan akhir Purwokerto. Nah jelas beda, kan? Kalau gas dari Jakarta, Purwakarta itu sebelumnya Bandung tepat 70 km. Kalau Purwokerto sih aku tahu itu di Jawa Tengah karena salah satu proyekku ada yang di sana. Fufufu.

Perjalanan kemarin aku pakai kereta api Serayu Pagi, gas dari Stasiun Pasar Senen pada hari Sabtu pukul 9.00 pagi. Dalam rangka libur agak panjang kali ini (karena tahun baru imlek), aku memutuskan pergi ke Purwakarta. Setelah sekian panjang pertimbangan dan pilih pikir, aku putuskan kota itu saja karena salah seorang teman kuliahku sedang kerja di sana. Perkenalkan, namanya Marka. Hobinya adalah bersinggungan sama musik.

Ruas jalan Purwakarta yang unik banget karena digantungi lampion di atasnya

Kereta Serayu Pagi sampai di Stasiun Purwakarta +84 hampir tepat seperti yang tertulis di tiket kereta api, sekitar pukul 10.30. Marka yang berjanji menjemput datang sejam setelahnya -_- karena dianya mandi dulu. Hahah. Selama di Purwakarta ini aku tidur di kos Marka, tapi beda kamar (yakali sekamar!). Aku tidur di kamar sebelahnya, kamar teman Marka yang sedang pulang ke rumah orang tuanya.

Keluar stasiun kita bakal disambut punggung Gatotkaca
Siang itu juga, aku berikan list tempat-tempat yang harus aku kunjungi selama di Purwakarta ini. Pertimbanganku memilih tempat-tempat berikut karena sepertinya tempat-tempat tersebut termasuk "Wisata Alam Terbaik di Purwakarta". Ada tujuh tempat, yaitu:
1. Gunung Parang
2. Desa Wisata Sejuta Batu
3. Goa Jepang
4. Air Terjun Curug Cipurut
5. Situ Buleud
6. Situ Wanayasa
7. Desa Wisata Lembur Kahuripan

Setelah cek sebentar ke Google Map, siang itu juga kami berangkat ke Situ Wanayasa dan air terjun Curug Cipurut. Yeah!

1. Situ Wanayasa
Kedua tempat tersebut searah. Menurut beberapa referensi, saat menuju Curug Cipurut pasti akan melewati Situ Wanayasa. Benar saja, setelah 28 km bertolak dari Cigelam google map yang kami minta untuk mengarahkan ke Curug Cipurut, titik merah google map menandakan kami sampai lebih dahulu di Situ Wanayasa. Tidak jauh seperti yang aku bayangkan, Situ Wanayasa adalah waduk buatan yang dijadikan obyek wisata gratisan. Ramai sekali, banyak orang foto-foto dan mancing. Cuma yang di luar dugaanku, waduk ini benar-benar di pinggir jalan! Hahaha. Kirain harus melewati jalan yang jelek nggak enak gimana gitu. 

Danau yang tenang

Tepat di sebelah waduk ini ada hall terbuka yang sedang dipakai anak-anak SMP pramuka, makin ramai saja sekitaran Situ Wanayasa.
Waduk ini memiliki pulau kecil tepat di tengahnya, menurutku itu sih hal teristimewa dari situ ini.

2. Curug Cipurut
Setelah berfoto sedikit di Situ Wanayasa, kami melanjutkan perjalanan menuju Curug Cipurut. Perjalanan masih dengan panduan google map dan sedikit bertanya sana sini, kami sampai satu jam kemudian. Ternyata lokasi Curug Cipurut ini cukup menarik buat dicari, karena melewati hutan yang sepi dan jalan yang kaga enak.
Pergi ke curug sebaiknya pagi-pagi, karena kalau seperti aku begini sampainya sore-sore kaga bisa lama di sananya. Enak sih, lebih sepi. Tapi kalau pagi lebih segar aja, lebih terang juga. Pagi-pagi seneng kan tuh ketemu air? 

Berseberangan dengan warung ini adalah parkiran untuk pengunjung Curug Cipurut

Curug Cipurut dari titik terakhir yang bisa ditunjukkan oleh google map, yaitu parkiran untuk para pengunjung, masih masuk sekitar 1 km lagi dengan berjalan kaki. Perjalanannya begitu menyenangkan karena kita akan melewati pohon-pohon dan hutan-hutan ringan di sepanjang jalan.

Air terjun Cipurut 
Harga tiket masuk Curug Cipurut Rp5000,00 per orang. Tetapi kalau mau berkemah biaya masuknya kalau tidak salah Rp7000,00 per orang sampai berapa haripun sepuasnya.
Curug Cipurut begitu istimewa. Pertama karena begitu tingginya dia membuat kita sadar bahwa kita begitu jauh dari langit tempat Dia selalu siaga. Kedua tentang riak dan setiap bulir air terjun ini rela membasuh wajahku yang sudah sangat lekat dengan asap-asap gelap kota, sampai aku bisa kembali tersenyum. Ketiga, adalah yang teristimewa di sudut kiri, bagian yang paling indah karena di sanalah ada pohon yang tumbuh vertikal sampai-sampai menjadi diagonal. Ibarat wajah manusia, air terjun ini adalah wajahnya dan pohon ini poni yang membuat dia menjadi lebih manis dipandang.

Sayangnya beberapa sudut Curug Cipurut sudah kotor dengan sampah, meskipun sudah ada papan peringatan jangan membuang sampah dan sebagainya. Padahal bukan di sana nggak ada tempat sampah.

Masih banyak sampah berserakan mungkin kurang besar papan peringatannya 
Oiya saranku, selama perjalanan menuju Curug Cipurut ada satu hal yang ingin aku pesankan: jangan sepenuhnya percaya dengan google map. Meskipun meyakinkan jalan yang ditunjukkan, tetaplah sering bertanya ke penduduk setempat. Google map hanyalah mesin buatan manusia, bisa juga salah. Contohnya pas aku ke Cipurut ini. Saat bertemu jalan bercabang map mengarahkan ke kiri, sedangkan ternyata arah yang benar itu ke kanan. Kalau ke kiri yang ada masuk ke perkampungan. Menurutku google map sebagai mesin pencari pintar akan mengarahkan kita ke jalan terdekat untuk sampai ke tujuan, meskipun bisa jadi jalan terdekat itu adalah loncat sedalam 10 meter.  Kalau dipikir-pikir bisa saja perkampungan tempatku nyasar itu ada di atasnya Curug Cipurut, kalau mau ke curug sebetulnya tinggal loncat aja. Lebih dekat, enak kan...

3. Situ Buleud
Hari ini, hari Minggu. Seperti juga kota lainnya ada juga car free day (CFD) di Purwakarta. Kalau di Purwakarta ini tempatnya di sekitaran pusat pemerintahan. Di pusat pemerintahan itu juga, di Taman Sri Baduga, ada suatu kolam yang cukup terkenal (yah seenggaknya di internet banyak situs merekomendasikan untuk dikunjungi banget), namanya Situ Buleud. Menurut sumber-sumber di internet kalau berkunjung ke sana malam hari saat lampu-lampunya sedang nyala bakal bagus banget, seperti kalau kita lihat Patung Merlion di Singapura di malam hari. Entah benar atau nggak, tapi aku jadi penasaran. Benarkah begitu adanya?

Punggung si Penguasa

Sayangnya aku ke Situ Buleud ini sempatnya pagi hari yah...

Aku sih belum pernah ke Singapura, tapi kalau nanti ada kesempatan ke sana seenggaknya aku dalam hati bisa berkata: "Yah ini mah kaya di Purwakarta aja!" Hahahaha.

Memasuki Taman Sri Baduga, aku merasa seperti kembali di hari pertama memasuki kota ini. Semua pohon di tepinya diberi sarung motif kotak-kotak hitam putih serupa papan catur, seperti juga semua pohon yang ada di pinggir jalanan Purwakarta. Lalu di tengah taman itulah Situ Buleud berada. Sepertinya yang dikatakan beberapa sumber tentang kemiripannya dengan Merlion adalah patung-patung singa yang mengelilingi patung entah siapa itu di tengahnya, kemungkinan singa itu juga menyemburkan air dari mulutnya. Jalan di tepi Situ Buleud juga mirip dengan jalan yang aku lewati di beberapa ruas di hari pertama, yaitu di atasnya ada lampion-lampion kecil bertumpuk.
Pinggir jalanan sekitar Situ Buleud ada kandang-kandang hewan, gubuk-gubuk untuk istirahat (padahal lintasannya segitu aja loh-_-), dan yang aku suka banget adalah ada keran air yang airnya bisa langsung diminum. Haha! Aku paling suka nih yang begini, yang gratisan...

Lagi dikerubuti penggemar-penggemarnya

Menurut aku Taman Sri Baduga ini sangat terawat, karena jalanan di sekitarnya bersih. Patung di Situ Buleudnya pun juga bersih. Jumlah tempat sampahnya juga cukup (semoga di kotanya juga begitu). Speaker-speaker yang dipasang di dinding pagar yang membatasi kolam dengan jalur pejalan kaki lancar menyiarkan lagu-lagu berbahasa entah Sunda atau Jawa halus, kurang terkopi di kuping.

Keluar dari Taman Sri Baduga aku mencoba beberapa makanan yang dijual di pinggir jalanannya. Agak kecewa, karena sulit banget menemukan orang jual nasi. Mayoritas lontong. Kuputuskan untuk beli soto, yang aku kira bakal menjual nasi. Tapi ternyata juga lontong.
Karena belum terpuaskan, aku coba membeli sate karena beberapa orang memikul kotak kayu bertuliskan 'Sate'. Aku nggak paham dan terlanjur penasarana, karena mereka ini apa benar jual sate yang selama ini kuanggap sate, karena isi kotak yang mereka pikul kaya-kaya bukan sate tapi hot wheels. Macam mainan apalah. Entahlah.

Sate Maranggi kebanggan abang penjualnya 


Kupesan dua porsi sate, satu buatku dan satu untuk Marka. Lalu abang penjual bertanya: mau pakai nasi atau uli? Nah lo, di antara dua cobaan. Nasi adalah yang aku cari banget pagi ini, tapi uli lebih unik. Mana ada yang menawarkan makan sate pakai uli? Kuputuskanlah makan dengan uli.

Sebentar saja menunggu, pesanan datang. "Silakan teh sate marangginya," kata si abang penjual. Lah ini sate maranggi? Seriusan? Aku konfirmasi ke Marka, katanya bukan. Kesimpulannya? Ini sate maranggi ka-we sekian.
Meskipun hanya abal-abal (maafkan aku abang penjual), tapi rasanya masih sapi. Bukan daging semua memang, banyakan rasa kenyalnya. Kenyanyal tapi gak lembek. Bagian mananya sapi ya itu? Enak sih. Gurih. Bumbunya manis terlalu. Tapi enak juga. Berpadu dengan uli yang juga manis, rasanya jadi unik. Hihihi. Asiklah buat di makan di pinggir jalan pagi-pagi. Meskipun harganya per porsi Rp20.000,00 cukup mahal untuk makanan pinggir jalan abal-abal, tak apalah. Kaga bakal ada di tempat lain yang begini mah.

4. Bandung 
Acara hari ini kepinginnya sih ke Goa Jepang, yang menurut google map berada di jalanan arah Bandung. Rencananya kami berdua akan ke Bandung dulu, lalu di arah pulang baru cari Goa jepang. Oh oh sebetulnya bukan rencana kami sih, aku sih pinginnya langsung saja ke Goa Jepang aja. Malas ah ke Bandung, udah sering. Tetapi karena Marka kepingin ke Bandung dulu, sebagai tukang nebeng yang baik aku pasrah. Meskipun hanya ada satu teman yang bisa menyambut kami di sana, Marka tetap gas semangat. Itu sang penyambut adalah teman kuliah kami, namanya Aulia.

Perjalanan ke Bandung seperti dugaanku macet luar biasa di Padalarang, sehingga habis waktu di jalanan. Sampai di Bandung kami berdua sholat sebentar di masjid yang keren banget, entah masjid apa aku lupa. Tapi aku suka langit-langitnya. Sungguh ya, adakah yang nggak menawan di Bandung tuh?

Kandilnya keren, yah?

Kami bertiga bertemu di dekat ITB. Makan lomie enak banget di sekitaran ITB, lanjut minum jus alpukat kelapa muda di tempat yang berbeda tapi masih sekitaran ITB juga. Bergosip sebentar, haha hihi dikit, ngomongin teman, lalu pulang. Kehujanannnnnnnn sepanjang jalan sampai kosan. Lemas. Gak bisa ke Goa Jepang atau manapun. This is not my day.

 Sedih hari ini berakhir kurang memuaskan.
Besok adalah hari terakhir, semoga bisa lebih baik.

5. Gunung Parang dan Desa Sejuta Batu
Terbangun saat subuh, aku lihat tiket kereta balik Jakarta yang sudah aku beli berangkat dari Stasiun Purwakarta pukul 15.40. Aku bisa kemana ya sambil menunggu keberangkatan?
Kulihat daftar tempat yang belum aku kunjungi, sepertinya yang terdekat dan terlacak hanya Gunung Parang. Menurut Marka juga, sepertinya nggak jauh. Cukuplah sambil menunggu keberangkatan. Maka ke sanalah kami.

Masih dalam panduan google map, kami menuju Gunung Parang berangkat sepagi kami bisa. Perjalanan dimulai dari Cigelam pukul 8.30 setelah sarapan. Meskipun dibilang dekat juga benar, tapi karena kami belum tahu di mana itu Gunung Parang, rasanya jadi jauh. Kami juga selalu memantau jalan, itu juga yang bikin rasanya jadi jauh.
Sekitar satu jam perjalanan kemudian, kami melewati pertigaan jalan yang menurut google map kami sebaiknya belok kiri untuk menuju Gunung Parang.

Sawah di pinggir jalanan menuju Gunung Parang
Sejak belok kiri itu, jalanan berubah menjadi lebih sempit dan hanya berlapiskan pondasi bawah. Tidak nyaman sekali buat dilewati. Tetapi sepanjang jalan itu aku menemukan sesuatu yang sempat terlupakan karena pikirkanku teralihkan oleh jalan yang nggak enak ini: banyak batu di sawah-sawah desa ini. Banyak. Banget. Besar-besar semua pula. Belum lagi di antara rumah penduduk itu juga ada batu, yang juga pada besar-besar. Batu yang paling besar adalah seukuran rumah satu lantai, lebih tinggi satu meter. Kaget lihatnya!

Aku lupa bahwa di referensi yang aku baca untuk menuju Gunung Parang aku akan melewati Desa Sejuta Batu ini. Hai hai, bukankah ini ternyata aku sedang melewati Desa Sejuta Batu?

Sengkedan berbatu besar-besar

Kemudian setelah beberapa meter melaju di antara rumah penduduk kami dihadapkanlah pada dua pilihan: lanjut atau nggak.

"Emang ada apaan, Git? Lanjutin sih!"

Jalan di depan kami naik dan masi juga berbatu, selain itu juga sempit bahkan untuk ukuran motor. Kanan kirinya diapit parit kecil. Padahal pantat ini sudah lelah karena jalanan yang nggak enak, kami masih harus menanjak? Lagi, ini motor kuat emang?

Tapi sudah kepalang tanggung, di google map sih katanya tinggal beberapa ratus meter lagi. Kami pun memutuskan untuk mendorong motor itu saja, aku yang dorong dan Marka yang gas setirnya. Kami sempat bertanya ke penduduk, hanya memastikan apakah benar ini jalan menuju Gunung Parang. Kata penduduk memang benar, tapi jalannya ya begini. Kaga enak. Bisa lewat yang lebih baik, tapi harus putar dulu. Aduh~ 

Jalan begitu pahit buat dilalui, motor juga berat untuk didorong. Batu yang kami lewati di tanjakan juga demikian licin karena gerimis. Itulah perpaduan yang mengantarku sampai di ujung tanjakan ini, yang mempertemukanku dengan jalanan yang jauh lebih landai dan tidak lagi tersusun atas batu-batu besar.

"Selamat berjuang!" seru si tanjakan ini menyemangati
Setelah tanjakan itu semuanya berasa lebih mudah. Lebih banyak juga papan penunjuk untuk sampai di lokasi Gunung Parang. Sampai di parkiran Gunung Parang, jam tangan menunjukkan pukul 9.45. Kami turun menuju lokasi, langsung ditawari oleh seorang anak muda (berasa tua-_-), mau manjat yang pakai tangga atau yang nggak? Aku pilih yang termurah, yaitu yang pakai tangga. HAHAH! Rp100.000,00 aja /orang.

Gunung Parang dilihat dari pos awal masuk

Bergabung dengan rombongan yang sudah lebih dulu sampai di pos pertama, tujuh orang termasuk leader, kami dipasangi pengaman dan dibekali helm. Kemudian kami total bersembilan orang mulai naik menerobos hutan untuk menuju pos kedua. Pos Kedua ini kami diberi pengantar arahan sebelum kami naik ke gunung batu Gunung Parang via ferrata, yaitu menggunakan jalur yang sudah dipasangkan sebelumnya. Tangga itu sih maksudnya. Pengarahan si abang leader:
a. kalau ada batu disingkirkan aja jangan dibuang ke bawah dikhawatirkan kena temannya
b. sampah jangan ditinggal tapi di bawa turun
c. jangan lupa untuk menggeser kaitan carabinernya
d. kalau mau foto carabinernya dikunci aja
e. jangan coba-coba naik kalau tidak pakai pengaman!

Pemandangan dari pos kedua

Istirahat dirasa cukup dan selesai pengarahan, kami langsung naik. Ternyata tangga yang dimaksud adalah besi tulangan ulir, mungkin diameternya 12mm, ditembakkan ke gunung batunya.
Kami naik terus sampai entah berapa meter, sambil sesekali berfoto. Sesekali juga aku bertanya asal-usul para kakak yang bersamaku memanjat Gunung Parang ini. Aku kira mereka satu komplotan dan aku sendiri yang anak luar, ternyata mereka juga dibagi menjadi dua golongan yaitu satu dari Bandung dan satu dari Jakarta.

Like a pro


Kami semua nggak naik sampai puncak karena jalurnya belum terpasang sampai puncak. Via ferrata ini kabarnya baru digunakan di Indonesia ya di Gunung Parang ini. Oiya saranku seharusnya pakai sarung tangan ya untuk via ferrata ini, karena kita bisa jadi nggak hanya berpegangan pada tangga besi tulangan itu tetapi juga kawat-kawat di pinggirnya. Tanpa sarung tangan cukup sakit juga tuh.

Via ferrata

Menurut berbagai sumber, kemiringan Gunung Parang ini tergolong "cukup" untuk para pemula yang ingin belajar panjat tebing. Mungkin karena itu juga gunung inilah yang dipilih untuk via ferrata pertama kali. Bisa jadi bagi yang sudah pro kemiringan vertikal sekian ini terlalu mudah buat mereka, aku gatau deh. Hahah. Tapi buat aku yang tidak pernah panjat tebing dan tiba-tiba manjat begini, ini sudah menyenangkan dan sedikit mengerikan! Hihihi.

Full team plus the leader behind camera
Jalur untuk turun ternyata sama dengan jalur naik. Jadi kalau mau turun ya jalannya mundur ke bawah. Hahah. Menurutku lebih ngeri turunnya daripada naiknya.
Kami sampai kembali di pos dua untuk isitirahat beberapa menit, sekitar pukul satu siang kami sampai di sana. Foto sebentar, kemudian kami turun ke pos satu. Kami sekelompok bertukar nomor untuk saling berkirim foto.

Berbagi waktu dengan alam; kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya 
Sekitar pukul setengah dua siang, sudah gerimis juga, kami semua pulang. Aku pulang melewati jalur yang berbeda dengan jalurku berangkat, lebih banyak belokan tapi jalannya lebih oke karena sudah beraspal.
Aku berkata dalam hati, "enak kali ya kalau tadi aku lewat sini. Kaga bakal capek dorong-dorong. Tapi juga kalau lewat sini, batu di sawahnya dikit banget nggak sebesar yang di sana tadi. Mungkin aku ga bakal nyadar kalau ini sudah masuk Desa Sejuta Batu. Ah gila sih, dibalik lelahnya kita ternyata ada rencana indahnya Allah di dalamnya." Terus aku nggak bisa berhenti tersenyum sepanjang jalan pulang, meskipun di jalan keguyur hujan lagi dan lagi. 

6. Sate Maranggi 
Sepulang dari Gunung Parang sudah jam setengah lima sore, itu artinya aku sudah ketinggalan kereta. Kereta selanjutnya yang bisa kubeli adanya jam setengah tiga pagi. Sekali lagi, aku mencari acara untuk menunggu keberangkatan keretaku. Hihihi.

"Namun sesungguhnya aku sangat rela ketinggalan kereta demi bersenang-senang di Gunung Parang," kataku bersabda.
Malam harinya aku dan Marka makan Sate Maranggi. Kata dia, nggak mungkin aku bisa pamer ke seluruh dunia kalau aku pernah ke Purwakarta tapi aku belum makan Sate Maranggi. Kalau yang abal-abal aja aku suka, bisa jadi aku bakal sangat suka dengan yang asli.

Ramai dan gaduh macam di pasar

Tapi kenyataannya, menurutku rasanya standar aja sih. Menurutku sate itu paling enak ya sate ayam, mengingat sate maranggi yang kumakan sapi jadi aku tidak merasa ini oke. Kalau sambalnya sih oke, kelapa mudanya juga sepertinya oke, tempatnya juga oke gitu ramai namun terkendali, tapi kalau satenya sendiri aku merasa biasa saja.

Sate maranggi (kiri) dengan sambalnya yang pedas banget sedap disajikan dengan nasi (kanan) yang dibungkus daun pisang

Sate Maranggi adalah penutup kegiatan kepurwakartaanku hari itu, sekaligus kegiatan menunggu datangnya kereta. Selain dengan tidur tentunya.
Malam harinya saat menuju stasiun untuk balik ke Jakarta aku melewati ruas jalan sama seperti yang aku lewati saat baru tiba. Ruas jalan itu masih di garis tatanan yang sama. Patung-patung tokoh negeri yang besar-besar di pertemuan jalan, pohon-pohon bersarung motif papan catur di tepiannya, dan semua lightbox-nya juga masih menyorotkan dua kata yang sama: Purwakarta Istimewa.

P & K
Terima kasih buat Aulia, Marka, dan Kak Kiki (kamarmu aku pakai makasi yaaaa) yang sudah menjadikan liburku ini ada isinya. Tanpa kalian nggak akan bisa kukunjungi lima dari tujuh destinasi wisata tujuanku. 
Terima kasih juga buat teman-teman baru di Gunung Parang, kalau masih ada kesempatan semoga bisa yah kita bertemu lagi.