Friday 6 January 2017

It Has to be You at 2958 asl

Gunung Gede dan Gunung Pangrango berada di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Keduanya dapat didaki melalui 3 jalur resmi yaitu dari Gunung Putri, Cibodas, dan Selabintana. Sepertinja sih ada jalur yang ga resmi yaitu dari Gunung Mas. Aku tahunya itu bukan jalur resmi karena kemarin ada pendaki yang meninggal kelelahan, kabarnya doi masuk dari Gunung Mas itu. Aneh ya, kenapa ada aja sih yang lewat jalur ilegal? Supaya apa gitu.

Untuk mendaki ke salah satu atau kedua gunung tersebut, langkah pertama adalah mendaftarkan diri online di website TNGGP. Tulis semua anggota pendakian dan tunjuk salah seorang menjadi kepala sukunya. Tiket masuk adalah Rp32.500,00. Kemudian legalisasi langsung ke kantor TNGGP-nya. Jangan lupa kelengkapan data saat legalisasi, seperti surat keterangan sehat. Kalau bikin di sana mahal sih Rp25.000,00 jadi mending bikin sendiri di puskesmas yekaaaan paling Rp5000,00 ajah. Langkah selanjutnya udah, tinggal tunggu tanggal mainnya aja. Hihihi.

Kuota pendakian TNGGP cepet banget habisnya, kalau kita daftar hari ini mungkin dapatnya untuk bulan depan atau dua bulan kemudian. Kabarnya sih karena persaingan yang ketat ini kita bisa aja pesan dari calo, harganya pasti lebih mahal tapi entah jadi berapa duit. Peminat gunung ini sepertinja memang luar biasa. Dugaanku sih karena posisinya yang strategis dari beberapa kota yang berpenduduk banyak. Kota itu salah satunya Jakarta, penduduk itu salah satunya ya aku ini. Aku sungguh berminat naik ke Gede. Sejak masih di Malang, sejak aku cuma bisa dengar namanya. Aku pingin banget lihat Bunga Edelweis. Aku juga ingin naik sampai puncaknya, karena ada sesuatu yang harus kutemui di sana. Nah begitu kawan kerjaku namanya Aby mengajak ke sana (entah aku diajak atau akunya mengajukan diri tanpa tahu diri hwahahahah), aku makinnnnn euhhhhhhhhhhhh gimana ya menggambarkan perasaannya? Ini semacam ledakan dalam diri gitu. Supfer antusias! Wajahku kalau bisa berekspresi layaknya manga pasti bakal melotot tapi nangis terharu gitu sambil ada sparkling light di belakangku. Pokoknya so wow!Gede-Pangrango, tunggu akuuuuuuuu akan datang sebentar lagiiiiii!

"Deuh gitu banget sih, Git?"


Bulan di Pertigaan Cibodas

Aku, Aby, dan satu lagi kawan kerjaku namanya Aldo mendaftar mendaki pada tanggal 24 sampai dengan 25 Desember 2016. Kami naik dari jalur Cibodas. Kami daftar dari sebulan sebelum tanggal tersebut. Saat itu jalur Gunung Putri sudah penuh, yang Cibodas dan Selabintana masih ada. Kami pilih Cibodas karena lebih dekat dan mudah aksesnya dari Jakarta.

Kami bertiga berangkat dari terminal Kampung Rambutan menuju Cibodas sekitar pukul 23.30 dengan bus Marita, masing-masing bayarnya Rp25.000,00. Bus ini tujuannya ke Bandung tapi lewat Puncak Bogor. Bilang saja sama bapak kernet yang baik hati kalau mau turun Cibodas, nanti bakal diturunkan di pertigaan Cibodas. Kami sampai di pertigaan tersebut pukul 02.00. Sepi.

Dari pertigaan Cibodas kita masih ada 20 menitan perjalanan untuk mencapai gerbang masuk taman nasional. Untuk mencapai gerbang, bisa dengan ojek atau carter angkot warna kuning. Carter ini harganya beda antara tengah malam dengan kalau siang atau sore. Karena kalau tengah malam gini nanti setelah mengantar ke atas kan abangnya turun kosongan, jadinya dimahalin sedikit. Gitu.
Kami bertiga akhirnya naik sekitar pukul 3 pagi, bersama rombongan lain yang datang berlima. Meski barengan, tapi harga tetap dibedakan (entah kenapa). Mereka berlima totalnya Rp50.000,00. Kami bertiga Rp40.000,00. Antara pertigaan dan gerbang masuk taman nasional yang kita lewati adalah Desa Cimacan.

Jalannya sih didominasi yang begini saudara-saudara

Jalan masuk lewat Cibodas juga merupakan akses menuju Curug (air terjun) Cibereum. Jadi jangan heran ikalau saat awal-awal mendaki kita menemukan orang yang jalan pakai sepatu kain atau sandal jepit doang.
Itu pasti pengunjung yang mau ke air terjun aja.

Pendakian bisa saja dilakukan mulai subuh, bahkan sebelum subuh. Terserah ajah. Namun kami lebih memilih rehat sebentar sambil menunggu terang sedikit. Pendakian kami mulai pukul 06.00. Jalur Cibodas normalnya ditempuh dalam waktu 6 sampai 7 jam bersih. Kalau Gunung Putri katanya sih 4 jam aja nyampe. 

Sejak awal jalan didominasi oleh batu-batu kali yang disusun; ternyata yang seperti ini akan berlaku sampai dengan pos Kandang Badak. Namun ada juga jalan yang berupa jembatan, pas masih di awal jalan ketika rimbun daun hutan tiba-tiba berganti langit. Lantainya sepertinya sih kayu ya, cuma nggak sepanjang jembatan juga. Ada yang beton tapi dicetak ala-ala kayu gitu. Dari jembatan tersebut kita bisa lihat puncak Gunung Gede yang sejuk ramah menyap. Keren farah!

Kaya lagi dilihatin si Gunung Gede banget ya ga sih

Sepanjang jalan di TNGGP ini kita bakal menemukan sumber air. Tidak perlu khawatir kehabisan air. Tidak jauh dari awal gerbang bahkan ada mata air di tepi jalan yang tumpeh-tumpeh gitu ke jalan. Hihihi. Dekat telaga biru itu looooh.

Pukul 10.24 kami sampai di pos Shelter Air Panas 2. Untuk mencapai pos itu kita melewati dulu semacam sumber air yang panas gitu, melintang jalan. Kurang tahu sih panas atau hangat kan aku pakai sepatu huehuehue, tapi uapnya cukup mengurangi jarak pandang. Jadi untuk kamu-kamu yang belum pernah ke sini kukasih tahu kalau upayakan pakai sepatu aja yah, atau paling tidak ketika melewati sumber air panas ini aja deh. Kan ngeri kalau tiba-tiba ada bau daging rebus. Selain itu juga untuk berjalan di batu-batunya yang licin, sepertinya akan lebih nyaman dengan sepatu. Nah masalahnya kalau kalian tergelincir lumayan juga jatuhnya. Mungkin bisa gegar otak 700 tahunan.

Alur air hangat tapi panas yang kudu ekstra hati-hati untuk dilintasi

Kami sampai di pos Kandang Badak pukul 12.15 siang. Saat kami sampai di sana sudah ramai tenda, jadi kami pilih masuk ke bangunan yang ada mushollanya itu loh. Rencananya di sini kami mau masak buat makan siang dan sholat.
Kandang Badak merupakan pos terakhir sebelum kita muncak, entah ke Pangrango atau ke Gede. Di sini ada musholla, sumber air yang dialirkan di pipa, dan juga kamar mandi. Sewajarnya fungsi kamar mandi, kita bisa boker, pipis, mandi, atau sekedar ganti baju. Jangan lupa bayar ya untuk pemakaian kamar mandinya, soalnya ada tulisannya gitu. Hihhihih.
Ngomong-ngomong aku agak surprise tentang keberadaan kamar mandi di Kandang Badak ini. Aku baru dua kali ini mendaki dan di gunung sebelumnya aku nggak menemukan kamar mandi. Boro-boro deh, air aja ngga ada!

"Git kenapa namanya pos ini Kandang Badak sih?"
"Kata mas-mas yang tadi antri wc di belakangku sih karena dulu di sini banyak badaknya." 

"O gitu. Kalau Kandang Batu, Git?"
"Nggak tahu masnya...."

Antri kamar mandi di Kandang Badak hihihi
Siang ini jadwal makan (aku yang bikin jadwal wkwkw) adalah kacang panjang-tempe dengan telor. Sebetulnya nggak pengen telor dulu sih. Kami bawa telor 5 butir, yang dibungkus dengan kertas. Sayangnya saat dibuka ada yang pecah hihi. Satu pecah banget, dua pecah sedikit, dua lainnya masih sehat dan kuat. Tapi kami ngga mau melukai telor yang tersisa seperti saudaranya tadi jadilah telor itu kami pakai di makan siang ini. Gitu.

Rupa Jalur Menuju Puncak setelah Kandang Badak

Selesai makan dan rapih-rapih kedua kawanku berdiskusi (aku mah ngikut ajah...), lalu diputuskan kami naik ke Gunung Gede aja sore ini (soalnya rencana awal kami sore ke Pangrango, besok pagi baru ke Gede). Pukul 14.45 kami mulai naik. Jalannya sudah bukan lagi batu kali tetapi pepohonan lembab dengan akar yang buesar-besar. Sekitar satu setengah jam atau satu jam kemudian bakal ada jalur yang dikenal dengan 'tanjakan setan.' Jangan takut dulu membayangkannya. Meski tanjakan ini berupa tebing tinggi dengan kemiringan sekitar 80˚-85˚tetapi sudah ada tali pengaman untuk pegangan. Bahkan mungkin bagi yang sudah pro (bukan aku tentunya wkwkw) nggak perlu pakai tali. Sudah dibentukkan juga pijakan-pijakan di tebing ini, amanlah. Mungkin lebih berhati-hati aja kalau habis hujan.


Hati-hati ya bang neng nungguin di bawah nih xixixix
Di tanjakan setan ini aku bertemu dengan geng heboh, lima orang pendaki yang juga dari Jakarta. Nggak lima saja sebetulya, tapi kata mereka sisanya di Kandang Badak aja karena sudah sering ke sini.
Kayanya geng heboh tuh selalu kita temui yah tiap ngedaki? Yang kaya begini nih yang bikin ketawa dan semangat meskipun lelah wkwkw. Ketawa mulu saya dengerin mereka komen ini itu. Saling sahut memanggil kawannya. Sayang nggak sempat berfoto bareng~

Well, mendengarkan kicauan geng heboh ini aku makin semangat untuk sampai ke atas. Juga kami bertiga berencana untuk berkemah di alun-alun Surya Kencana, yang kabarnya banyaaaakkkkk banget edelweisnya. Benarkah begitu? Aku belum pernah lihat wujud Bunga Edelweis. Seperti apa ya rupa bunga itu? Aku pengen banget lihat edelweis dari jarak dekat. Adakah dia masih di sini meskipun musim hujan, katanya doi cuma ada di musim kering. Bunga keabadian... gitu orang pada bilang...

Puncak bermuram senja

Saat pohon sudah tidak lagi tinggi-tinggi, aku bisa mendengar suara awan. Kami sudah hampir sampai puncak sepertinja. Yeaaay!
Aku memandang ke atas saat ada cahaya besar di atas kepalaku. Nggak ada lagi dedaunan yang menghalangi sinar matahari sore, aku sangka aku udah di puncak. Wow banget. Cantik banget puncaknya ternyata!
Tapi kata Aby ini belum puncaknya, meskipun di sini sudah indah banget ahahha. Masih naik lagi, kelihatan dari tempatku berdiri ini. Masih ada sekitar setengah jam untuk mencapai puncak tersebut. Jalur pendakian terakhir ini didominasi batu-batu kecil dengan pasir kasar. Saat berada pas di puncaknya barulah ketemu tanah. Alhamdulillah, kami sampai di puncak pukul 17.30.

Aldo  di Puncak Gede
Terharu aku, sungguh terharu. Ternyata puncaknya Gunung Gede seindah ini. Sedamai ini. Berbulan lalu aku cuma bisa melihat foto-foto orang yang mencapai puncaknya, tapi hari ini aku ada di sini. Menikmati awan sore sambil bersandar di pagar kabel, terpesona sama warna langit. Di sini, aku lihat apa yang dia lihat. Aku rasain apa yang dia rasain. Aku sudah menemui sesuatu yang harus kutemui.


Mendung tapi, nggak bisa lihat sunset. Meski begitu garis-garis matahari yang serupa sayap membuatku bersyukur berada di sini. Kami bertiga lalu beli gorengan yang sudah dingin. Huft. Eh. Tapi kok enak ya?


Rencana kami untuk berkemah di Surya Kencana (Surken) sepertinja pun berubah. Ternyata kami sampai puncak terlalu sore, jadi kemungkinan sampai Surya Kencana bakal gelap. Maka kami ganti keputusan untuk kemah di puncak ini saja. Menurut info penjual gorengan malah enakan kemah di puncak, karena semalam di Surken hujan sedangkan di puncaknya nggak. Meskipun keduanya sama-sama dilanda badai. Aku kecewa, karena berarti batal dong ketemu edelweis. Tidak tidak tidaaakkkkkkkkk!

Cuma bisa lihat Surya Kencana dari jauh~

Malamnya kami masak spaghetti. Kekecewaanku karena ngga bisa ke Surken sepertinja dialihkan tubuh ini menjadi napsu akan spaghetti. Selain itu juga karena pas di dataran belum pernah masak spaghetti sendiri, pasti bakal terkenang banget tuh pertama kali masak spaghetti di Puncak Gede. Tapi eh tiba-tiba... perutku mual. Oh man, aku muntah gorengan!

"Makanya Git jangan maksain sampe sini. Kalau ga kuat bilang ajah," kata Aby

Well, aku merasa perutku enakan meski mulutku terasa pahit dan kelu karena baru muntah. Aku tidak menjawab apa yang Aby katakan. Aku tahu jalanku lama. Banget malah. 11,5 jam kami jalan, jauh banget dari waktu normal. Mungkin wajahku terlihat lelah dan nggak kuat. Tapi yang tidak tampak di mata orang lain adalah aku tetap semangat mendaki. Aku nggak membiarkan lelah fisikku menghentikan langkahku. Karena bukan tentang puncak yang ingin kuraih, tapi sesuatu yang ingin kutemui itu.

Menjemput Fajar

Saat pagi datang, matahari muncul setengah hati. Hanya lima menit dia cerah, sisanya tertutup mendung awan. Tapi pemandangan tetap menakjubkan. Pangrango yang cerah, di belakangnya bahkan terlihat Gunung Salak. Juga lampu-lampu kota Jakarta yang mulai pudar. Nggak ada habisnya kekerenan puncak gunung ini...subhanallah banget dah pokoknya.

Kami masak sarden untuk makan pagi, berkemas, kemudian turun melalui jalur yang sama saat kami naik. Sebetulnya bisa saja turun lewat Surken, jadi bisa lihat Bunga Edelweis hihiiiiwwww. Tapi itu berarti kami bakal lewat jalur Gunung Putri. Nah menurut info sih nggak boleh ya turun lewat jalur lain. Banyak sebetulnya yang memilih jalur turun yang berbeda dengan naiknya, tapi kami nyari aman aja gitu. Pukul 8.45 kami mulai turun.

Pertigaan ke arah gunung dan curug

Perjalanan turun ditemani gerimis yang muncul dan hilang tak tentu. Kata Aby sih sebenarnya ini jelmaan kabut saja. Nggak tahu deh~

Kami beristirahat di pos pertigaan jalan yang bercabang satu menuju gunung dan satunya menuju air terjun. Di sana kami masak makanan untuk isi tenaga lagi. Pukul 15.23 kami turun dari pos tersebut.


Perjalanan kembali ke Jakarta kami tempuh dengan bus dengan nama sama, Marita, tetapi kena macet sehingga perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh 2 jam jadi 4 jam.

***

Untuk kawah Gunung Gede, pagar berkabel, dan awan-awan yang melingkari Pangrango, aku ingin mengajukan pertanyaan: apakah terlambat aku baru menjadi pengagum keindahan kalian kemarin sore? Padahal dengan usia sama denganku ada yang berdeklarasi 'aku pensiun mendaki'.

Pagar berkabel coba kamu jawab pertanyaanku deh

***

P & K 
1. Tanggal 24 Desember (hari aku mendaki) kemarin bertepatan dengan ulang tahun bapakku. Meskipun tidak nelfon atau bertemu di hari ulang tahunnya, tapi pencapaianku kali ini kupersembahkan untuk beliau. Selamat ulang tahun bapak! 


Selamat ulang tahun Bapake! Tanpamu aku nggak akan sampai sini
2. Manjat gunung akan terasa berat jika dilalui tanpa senyuman dan kecerian, aku buktikan itu di perjalanan kali ini. Jadi jangan pernah cemberut ya pas naik.
3. Aku pernah dikasih cerita seram tentang TNGGP ini. Namun alasan dibalik kejadian itu adalah karena seorang perempuan sembarang buang pembalut di salah satu sudut hutan, trus akhirnya doi kesurupan deh. Wew. Jangan ditiru ya.
4. Menurutku TNGGP ini cukup bersih, meski sampah masih ada banget terpusat di suatu tempat. Sekali lagi kuingatkan buat diriku sendiri dan siapapun yang nyasar ke artikel ini jangan lupa untuk bawa turun sampah kita. Sekecil apapun sampah itu, besar dampaknya untuk kebersihan.
5. Pangrango, kapan-kapan aku pingin mengunjungimu. Melewati lembah kasih, Lembah Mandalawangi.
6. Buat diriku sendiri tetap semangat untuk pendakian selanjutnya. Jangan berhenti, karena perjalanan baru dimulai! Yeaaaaaayyyyyyyyyyy
7. Untuk semua Bunga Edelweis dimanapun kau berada: aku pengen lihat kalian dari deket boleh ya...
8. "Tujuan utama bukan puncak tapi pulang dengan selamat." Wah wah, terus terang saja saat mendaki aku ga kepikiran begini sama sekali. Masalahnya kalau aku mikir begitu bisa-bisa di tengah jalan aku nyerah, kan tujuanku pulang dengan selamat aja. Gitu bukan? Meski pas turun aku sungguh memikirkan rumah... bukan deng, kamar kosan maksudnya. Sejatinya kalimat itu menurutku ditujukan agar kita tidak meremehkan perjalanan yang kita tempuh aja sih. Selalu utamakan keselamatan. 
9. Air terjun di TNGGP tidak hanya Curug Cibereum ternyata, ada satu lagi tapi aku gatau namanya. Wahai air terjun yang indah, siapakah namamu? Kuingin bermain bersama air-airmu tapi kok ya aku kemarin baliknya buru-buru...

Ini loh air terjunnya

10. Terima kasih banyak dan berattt untuk Aldo dan Aby. Maafkan yaaah aku lambat banget jalannya huehuehue kutunggu jadwal selanjutnya, boooi!
11. Terima kasih juga buat geng heboh karena sudah heboh, anak-anak DBS, semoga ketemu di pendakian selanjutnyaaaaaa.


THANK YOUUUU TNGGP! 
(click to enlarge the photo)