Monday 29 December 2014

Datang
oleh: Rahne Putri (Sadgenic)

Kalau kamu datang, 
aku berjanji tidak akan bertanya kenapa baru sekarang.
Kalau kamu datang, aku berjanji tidak akan membuatmu berdiri 
di depan pintu terlalu lama.
Kalau kamu datang, aku berjanji tidak akan bertanya,
hati mana saja yang sudah kau lewati untuk sampai disini.
Karena dengan langkahmu, aku terbangun,
dari mati suri yang kunina-bobokan sendiri.
Kalau kamu datang, tolong jangan pergi.
Aku lelah menjaga pintu.
Kalau kamu datang.
Aku berani sumpah, aku tenang.

Friday 26 December 2014

Gunung Banyak

Jalan-jalan padat banget sejak Rabu siang, karena semua pada merayakan long weekend. Bagi yang kebagian long weekend, sih.  Aku sih enggak. Libur natal tetap hanya sehari, nggak ada cuti bersama, dan Sabtu juga aku tetap masuklah seperti biasa. Tapi ahai ahai, namanya libur meski cuma sehari juga tetap libur kan? Jadilah aku kali ini ke Batu. Yeehaaaa. 
Kota wisata yang satu ini dapat ditempuh dalam hitungan menit dari Malang my current city. Perkenalkan, bagi kalian yang belum pernah mengunjungi kota ini, Batu adalah kota wisata, dengan setiap penduduknya yang sudah dididik menjadi penduduk kota wisata. Kota ini bangga banget dengan singkatannya KWB alias Kota Wisata Batu haha. Lihat aja pasti banyak orang nempel stiker gitu dimana-mana. Batu adalah kota yang indahnya nggak cuma bisa dilihat dengan mata tapi juga hati. Gunung-gunung adalah pagarnya. Saat mendung kota ini bisa saja cuma sejengkal dari awan hitam, karena ketinggiannya yang menawan. Setiap malam hanya dengan melangkahkan kaki keluar pagar rumah kita bisa melihat starhill. Udaranya selalu segar. Air buat mandinya juga dingin enak, kayak Es Degan hwehehehehe :') Bisa bayangkan kan betapa bagusnya kota ini. 

Tempat sampah kota wisata sejati
Perjalanan menuju kota Batu dimulai dari rumah, sekitar pukul 17.20 baru keluar cari angkot LDG (cegat di Jomplangan) yang langsung menuju terminal Landungsari. Tarif terbaru adalah Rp4000,00 saja. Turun di pos polisi, lanjut naik angkot warna ungu nge-pink gitu dengan harga Rp4500,00. Angkot ini jurusan Batu, tapi nggak semua kota Batu dia puterin. Pemberhentian terakhir di terminal Batu. Oiya perjalanan kali ini aku menginap di rumah teman namanya Aul, rumahnya di Jalan Bukit Berbunga daerah Sidomulyo. Keren ya nama jalannya. Sepanjang jalan itu memang orang pada jualan tanaman dan bunga gitu sih.
Menuju Sidomulyo kalau sebelum maghrib biasanya naik angkot warna oranye dari terminal situ. Tapi setelah magrib sulit cari angkot ini, jadi lebih gampang naik ojek. Bayarnya Rp10000,00 aja!

Malam itu aku baru tidur jam 12. |-)

***

Perjalanan ke Batu kali ini untuk entah ke berapa kalinya (tapi nggak sampai yang ke sepuluh juga sih karena meskipun dekat aku jarang banget kesini n_n). Batu memiliki banyak tempat wisata baik buatan maupun yang alami. Tapi baru dua dari sekian banyak yang aku pernah datangi, Jatim Park 1 dan Alun-alun Batu :'D

Kali ini tujuanku adalah Gunung Banyak. Lebih sering disebut Paralayang, sih.

#cupubarukesinipertamakali #yagimanagaadayangngajakin

Sengaja tidak bawa kendaraan pribadi, aku pingin tahu kalau ke Gunung Banyak angkotnya apaan. Sidomulyo menuju Gunung Banyak ditempuh dengan dua kali angkutan umum. Pertama angkot oranye sampai ke terminal Batu. Setelah itu naik bis Puspa Indah turun di Pandesari. Atau bilang turun Paralayang kernetnya pasti paham. Di Pandesari aku diturunkan di seberang masjid yang cukup besar di sebelah kanan jalan. Sebelah timur masjid itu ada gang, itulah jalan menuju Gunung Banyak :-) Kalau baca di blog beberapa orang untuk menuju Gunung Banyak bisa naik ojek dengan tarif normal dari gang itu. Tapi kemarin ko ga ada pak ojek berkeliaran yah? Haha. Entahlah. Tapi aku dan Aul juga tidak ingin naik ojek, sejak awal memang diniatkan untuk jalan kaki saja. Selain itu di papan penunjuk sebelum gang tertulis hanya 1,5 km menuju Paralayang. Cukup dekat, kan? Apalagi ini di Batu, tempat yang aku tuju ada di ketinggian pula. Jalannya pasti melawan gravitasi, membentuk sudut dengan garis horizontal. Pastilah seru dan banyak pemandangan bagus di sisi-sisi jalan, yang membuat kita lebih semangat untuk jalan kaki. Ternyata, ya memang benar demikian...


Coba tengok kiri

Jalan panjang menuju langit biru~

Tidak banyak orang yang menuju Gunung Banyak dengan jalan kaki. Jadi beberapa kali ada 'penyemangat' yang lewat dengan naik motor, ada juga yang memandang dengan heran aku dan Aul. Haha risih banget. Tapi biarlah. Kalau bisa kita berlama-lama aja kan sama pemandangan seperti ini?

Sebagai persiapan aku sudah bawa senjata musim hujan yaitu jas hujan, sedangkan Aul membawa payung. Namun kebetulan siang itu sedang teduh. Meski beberapa menit sempat ada titik hujan yang menetes di kulit, tapi ternyata tidak sampai gerimis. Hanya saja si Aul ini tetap pakai payung, mungkin ini juga kenapa selama perjalanan yang lewat pada 'menyemangati' dan memandang aneh hahaha-_-'

Jangan sampai kepanasan katanya hahaha padahal kan teduh gini, Aul :-(

Perjalanan dari gang depan menuju Gunung Banyak ditempuh sekitar 30 menit saja. Jalannya mudah, tapi kalau belum pernah kesini akan lebih baik sambil bertanya pada penduduk sekitar. Beberapa persimpangan diberi tanda, tapi nggak banyak.

Pertigaan pertama yang ada penunjuknya

Di antara dua pilihan? Pilihlah jalan mendaki!

Gunung Banyak adalah namanya. Di puncaknya ada dua tempat kunjungan yaitu untuk Paralayang dan Omah Kayu. Sepertinya Omah Kayu ini wisata baru. Entahlah. Atau aku aja yang baru kesini. Hahaha. Tarif per orang masuk Gunung Banyak adalah Rp5000,00. Kalau bawa kendaraan parkirnya bayar lagi.

Pertama aku ke Paralayang dulu. Subhanallah sekali aaaahhhh keren. Terbukti, apapun yang dilihat dari ketinggian itu pasti indah. ;-) 

Mirip maket dengan nilai A

Gita Ceria, perbatasan kota dan hutan ringan :-D

Sejengkal dari awan hitam

"Bukit dan sepeda. Pasti akan ada hari saat kita bisa seromantis ini" 

Sesuai namanya yang terkenal, Paralayang, disini adalah tempat bertolak bagi yang akan melakukan Paralayang. Tarifnya sekali terbang Rp360000,00 (nguping orang, wkwkwk). Tapi sepertinya kemarin ditawar bisa jadi Rp350000,00. Bagi yang merasa tidak lihai terbang bisa pakai pemandu. Jadi kita terbang tapi yang menyetir pak pemandu, yang sudah ahli itu. Senang bangeeet lihat orang-orang pada terbang. Aku sendiri kepingin coba, tapi duitnya ko ngepas fwehehehe :-B 

Selamat jalan

Pecaaaaaaahhh bapak ini terbang sendiriii

Sepertinya pemakaian tongsis sudah begitu membumi dan mengudara yah, sampai menyentuh puncak Gunung Banyak. Hampir setiap orang yang terbang selalu membawanya kecuali yang terbang sendiri. Maksudnya jelas untuk dokumentasi saat terbang. Sampai koordinatornya tanya pas ada yang siap terbang: "Siap? tongsisnya sudah?" Wah sudah kayak perlengkapan utama aja yah. Gawats, aku ko nggak punya :-D  

***

Tujuan kedua adalah Omah Kayu. Sebetulnya akunya nggak ingin kesini. Tapi Aul-nya mau. Ah tapi aku juga sekaligus melarikan diri dari para penerbang paralayang, karena semakin dilihat semakin kepingin sih. Tapi yah bayarnya gimana buahahahah :-(

Menuju Omah Kayu

Tarif masuk Omah Kayu Rp5000,00/orang. Tidak ada yang ditawarkan disini selain kita duduk-duduk aja di teras rumah kayu. Memandangi kota, sedikit ketutup pohon. Tetapi bagi generasi foto liar, ini adalah spot bagus untuk foto. Tersedia lebih dari empat Omah Kayu disini, tapi nggak sampai delapan buah. Masing-masing Omah Kayu dipasang papan petunjuk bahwa maksimal hanya tiga orang yang boleh masuk. Tapi banyak juga yang melanggar :-( Padahal kalau runtuh dalamnya nggak main-main loh! 

Foto panorama horor, ko bisa gini yah :-( I'm brainless
Sehari saya minum dua! :-D

Pengunjung setiap Omah Kayu tidak dibatasi berapa lama boleh berada disana. Jadi kalau yang ditunggu sedikit lama berarti kita kudu sedikit bersabar. Hwehehehe. 

***

Untuk kembali ke Sidomulyo aku tetap naik kendaraan yang sama yaitu Puspa Indah. Kemudian bersambung dengan angkot oranye.

Perjalanan pulang lebih singkat. Selain karena searah dengan gravitasi, kita juga sudah tahu jalan jadi bisa melangkah mantap tanpa ragu :-D Ah iya satu lagi. Karena perjalanan pulang tujuannya adalah ke rumah; yang hangat nyamannya sudah begitu kita rindukan. Home sweet home~




Terima kasih buat Aul yang sudah berbagi kasur buat tidur dan keluarga Aul yang baik banget. Terima kasih buat bapak dan ibu penguasa Gunung Banyak yang mau memberikan petunjuk sampai ke puncak. :-D 


Monday 8 December 2014

Kran Keren

Berdasarkan internet yang semakin canggih ini, Indonesia sebagai negara yang memiliki iklim tropis memiliki beberapa ciri yaitu:
1. Penyinaran matahari sepanjang tahun
2. Memiliki dua musim yaitu penghujan dan kemarau
3. Terjadi perubahan suhu yang ekstrim saat pergantian musim
4. Suhunya stabil

Menurut pengalaman aku sebagai warga negara yang begitu setia di negara ini, semua ciri yang kutemukan di internet tersebut adalah benar. Kemanapun aku pergi, semua ciri tersebut masih terasa. Apalagi saat kemarin aku ke Surabaya, ciri yang ke-4 adalah yang paling benar. Suhunya stabil, stabil panasnya maksudnya -___-' 

Selasa malam lalu aku menginap di Surabaya gitu di kosan sepupu di daerah entahlah, pokoknya deket pasar dan sungai. Haha! Kamar kosnya cukup aneh, sekamar isinya empat orang gitu. Berhubung aku sebagai orang ke-5 tidak dapat tempat, jadilah aku tidur di lantai sama sepupu aku (nemenin gitu dia). Benar-benar tidur DI LANTAI loh. Tanpa alas apapun. Anehnya, nggak dingin gitu rasanya. Tapi HANGAT sodara-sodara, rasanya TIDUR DI LANTAI SURABAYA. MALAM HARI loh. Hahah. Ternyata begitu ya lantai Surabaya~ 

Paginya aku juga masih menumpang mandi di kosan sepupu aku itu. Mandi tanpa antri, akupun langsung masuk aja ke kamar mandi yang letaknya tepat di seberang kamar sepupuku. Coba tebak aku nemu apa di kamar mandinya! Nggak kalah kerennya dengan lantai yang hangat! Yaitu adalah kran air yang keren! 


posisi kran saat air penuh

posisi kran saat bak hampir kosong


Entah ini sebutannya kran atau bukan, tapi sebut sajalah ini kran. Soalnya sumber air untuk bak tampung itu ya ngucurnya dari lubang situ. Sadarkah anak kosan disitu, mereka tinggal seatap dengan kran air masa depan! 

Kenapa dia pantas menyandang kran air masa depan, Gita? 

Karena kran air ini bisa menyelamatkan banyak tetes air yang mungkin saja akan terbuang sia-sia kalau bukan dia kran airnya!

Coba perhatikan gambar. Nomor 2 sebut saja pemberat, adalah yang menentukan kran air akan mengucurkan air atau tidak dengan posisinya. Air mengucur dari nomor 1, ada lubang gitu disitu. Kalau air lagi penuh, maka nomor 2 akan terangkat sampai posisi tepat horizontal sehingga nomor 1 menutup dan tidak mengeluarkan air. Kalau air tidak penuh, maka nomor 2 akan berada di posisi hampir vertikal sehingga nomor 1 akan mengeluarkan air. Jadi, keran hanya akan mengeluarkan air pas bak sedang kosong, volume air yang mengucur pun berkurang seiring bertambahnya volume dalam bak karena pemberat makin terangkat, sampai akhirnya nggak ada air yang mengucur saat bak sudah penuh. PECAAAAAAHHHH! Fisika banget nggak siiiiihhhhhhh 

Namun waktu yang kulalui disana terlalu singkat (cieh), jadi nggak sempat meneliti material yang digunakan itu apa aja. Aku sendiri sih beneran belum pernah sama sekali lihat yang ginian dipakai di tempat manapun secara nyata, kalau konsep kayaknya pernah dengarlah sedikit. Entah aku yang kampung baru lihat kali ini atau memang baru disini aja dipakainya, tapi harapanku janganlah sampai hanya disini aja kran ini dipakai. Semoga di seluruh tempat di dunia kedepannya akan memakainya. Manfaatnya banyak banget kan buat kita sendiri nggak perlu repot mengontrol bak, selain itu buat airnya sendiri supaya dia nggak mengalir percuma. Pada akhirnya kita ikut andil dalam penghematan air untuk masa depan seluruh penghuni Planet Bumi. :---D

Friday 28 November 2014

Cerita dari Hujan

(1) Sore tadi adalah sore yang basah, setelah sekian lama kotaku panas dan kering. Air hujan turun di kota Malang cukup deras. Memang nggak semua tempat yang deras, kalau tidak salah baru di Jalan Ijen sampai rumah (Kotalama) saja. Hujan turun sekitar pukul 17.00. Pas banget aku nggak bawa jas hujan, jadilah basah sampai rumah. Basahnya parah, pahaku sampai kaya bisa diperas gitu. Hahaha -_-' 

(2)
tempat ter-ahzeeeggg
Rumahku adalah model rumah tua, bangunan sangat panjang, langit-langit tinggi, tapi nggak tingkat. Sedih banget ya, padahal rumah yang tingkat punya titik terbaik buat kita para manusia bertinggi badan rendah buat menikmati kota dari ketinggian. Atau sekedar merasakan matahari dalam posisi lebih dekat. Biasanya kalau di film-film di terasnya yang terbuka. 

hujan turunnya disitu tuh

Tapi rumahku punya halaman belakang yang aku baru sadari beberapa bulan lalu bisa juga dijadikan sebagai tempat terasyik, tempat nonton hujan. Atau kalau masih mendung, tempat menatap awan-awan lucu yang gosong. Haha. Tempat itu ada di halaman belakang dekat jemuran-jemuran berdiri seumur hidupnya. Biasanya aku sengaja parkir motor disitu, supaya pas lihatin hujannya aku bisa sambil tiduran. Kadang motor juga dipakai supaya ada meja aja buat naruh gorengan, susu, atau air putih. Jadi nonton hujannya nggak sendirian. :D

Ini tempat favorit kedua setelah kamarku. 


(3) Banyak orang kesal sama hujan. Tapi banyak juga yang bersyukur. Biasanya mereka yang bersyukur ini yang tahu bahwa di setiap kedatangannya, hujan bukan cuma menurunkan air tapi juga melemparkan seratus ribu bintang ke langit gelap saat dia pergi. Bisa pas malam, atau pas subuh. Malah kalau hujan sedang baik suasana hatinya, dia akan mengutus bulan buat menggandeng tangan kita. Hanya supaya kita nggak merasa gelap dan kesepian. 

(4) Dulu banget pas SMP, aku pernah patah hati. Buat yang pertama kali tuh huakakaka. Ah iya tapi seriusan, itu sedih banget. Pertama kalinya merasakan kekecewaan dan penyesalan. Ajaibnya, pas turun dari angkot aku disambut hujan. Jadilah aku kehujanan. Gak ada payung atau jas hujan, cuma bisa menunduk suapaya pengelihatan masih jelas. Tapi bukannya merasa kesal atau sial karena kehujanan pas patah hati, aku malah merasa nyaman banget. Seperti ada teman baik yang merangkul pundakku sambil mengatakan kalimat yang menenangkan.

Dan begitulah, mulai saat itu sampai sekarang hingga seterusnya pertemananku sama hujan terus terjalin.

(5) Aku pingin naik gunung, aku pingin melihat matahari terbit dan tenggelam seperti mereka-mereka yang selalu memiliki jalan mendaki. Aku juga pingin tahu, di puncak gunung itu ada hujan gak sih? Soalnya kalau lihat foto-foto para pendaki gunung mereka seperti berjalan di atas awan. Sementara, hujan kan turunnya dari awan gitu. Nah lo? Makanya itu penasaran! Haha. 

Tapi aku mau naik sama siapa coba. Aku gak ikut klub apapun dimanapun yang suka naik gunung. Orang tua aku juga bukan pendaki gunung. Jadi? Jalan satu-satunya adalah nanti perginya dengan suami tercinta. AMIN AH AMIN. 

Gita Berpendapat...
Kalau hujan memang ada di puncak gunung. Kalau mendung bakal sering menggelayuti langit negeri kita akibat climate change. Sehingga beberapa kali para pendaki gunung yang sudah susah payah mendaki, setelah sampai di puncak nggak terbayar dengan sunrise yang indah, tolong jangan sedih. Karena mungkin dibalik mendung dan hujan yang turun memang ada yang berharap sunrise itu tidak datang saat itu untukmu. Mungkin dari suami/istri kamu-kamu kelak yang sama sekali belum pernah melihat sunrise dengan siapapun. Harapannya, mendung akan menunda satu sunrise itu. Sunrise terbaik agar kelak bisa menjadi yang pertama - dalam bersama.

Sunday 2 November 2014

Wanderer Wannabe




Sekitar penghujung tahun lalu aku teringat apa yang diucapkan pak rektor atau siapapun yang menyambutku waktu maba dulu di tahun pertama, satu ucapannya yang kuingat: "...Universitas Brawijaya adalah kampus dengan jumlah keberagaman mahasiswa yang paling tinggi..." Semakin bertambah semester aku semakin kenal dengan teman seangkatanku di jurusan, akupun semakin tahu bahwa memang benar apa yang dimaksudkan di pidato tersebut. Manusia dari Sabang sampai Merauke ada semua disini, jumlahnya memang hanya satu dua masing-masing jurusan tapi kalau dikumpulkan se-UB lumayan juga. Mau cari anak Aceh, ada. Sulawesi, ada juga. Kalimantan, banyak banget. Papua, ada dan semakin bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun. Aku kurang mengerti sih di tempat lain seperti apa hanya saja "keberagaman mahasiswa yang paling tinggi" bolehlah jadi kebanggaan, entah memang tertinggi atau nggak ya percaya ajalah sama rektor. Haha.

Artinya meskipun kampus ini bukanlah yang terbaik di seluruh Indonesia tapi kampus ini sudah seperti Indonesia itu sendiri, beragam. Buatku, yang selama ini cuma bisa belajar tentang Indonesia secara fisik dan apapun di dalamnya lewat buku dan cerita guru sungguh suatu kebanggaan bisa bersalaman langsung dengan orang batak, orang sunda ataupun orang dayak. Bercanda dengan mereka. Ngobrol akrab dengan mereka. Mendengarkan mereka bicara dengan logat mereka. Tahu langsung dari cerita-cerita mereka seperti apa kebiasaan mereka budaya mereka sehari-harinya. Kalau selama ini aku hanya tahu pulau Sulawesi wujudnya gitu aja dari atlas, aku bisa tahu di sana ada apanya sih. Apa benar disana itu begini. Apa benar disana begitu.

* * *

Kelulusan adalah hal paling membanggakan dalam perkuliahan. Iya, bukan tentang berhasil lolos masuknya tapi bisa nggak keluar lulusnya. Setelah berhasil keluar kita dihadapkan pada tanggung jawab untuk kemana setelah ini. Sejak bulan Juli lalu kelulusan sudah kupegang, harapan terbesarku pokoknya jangan sampailah aku menganggur seharipun. Alhamdulillah keturutan. Harapan lainnya yang tidak kalah penting adalah jangan sampailah berada di Kota Malang terus. Alhamdulillah sedang merintis supaya bisa terwujud, haha.

Begitu beragamnya teman-temanku di masa kuliah ini, membuatku berkaca. Umur kami relatif sama, tapi kok apa yang mereka tahu rasanya bisa lebih banyak dari aku ya? Pertama tentang asal mereka kedua tentang tempat mereka kuliah ini. Aku sih cuma tahu yang pertama, itupun bisa dikata setengah daerah saja. Mereka sudah melintasi separuh negeri hanya untuk menimba ilmu meluaskan wawasan dan pandangan, sedangkan aku? Aku sering berkata pada diri sendiri dan semua orang bahwa Indonesia bukan cuma Pulau Jawa, aku cinta Indonesia, aku cinta negeri ini, aku benci kalau ada kritikan rendah terdengar dengan embel-embel "..ya gitu emang, Indonesia...". Iyaaaa aku cinta negeri ini, tapi kenapa aku bisa berkata begitu ya? Kenapa aku bisa yakin cinta banget sama negeriku padahal aku sebenarnya tahu apa sih tentang negeri ini? Bukankah selama ini aku cuma bepergian belasan kilometer saja, dalam kota? Apa yang aku bisa ceritakan tentang dia kalau memang aku cinta negeri ini?

Hal itulah yang menjadikan aku pikiran, aku pingin seperti teman-temanku. Aku pingin merantau. Aku pingin seperti mereka. Lebih dari itu, aku pingin menjelajah. Aku ingin tahu, negeri seperti apa sih yang aku bilang aku cinta ini. Sudah cukuplah masa muda dihabiskan di kota, setiap hari yang terlihat cuma hutan beton dan asap-asap gelap kendaraan. Semoga belum terlambat. Setiap akhir minggu aku sudah coba untuk nggak berada di rumah. Seperti minggu lalu, Sabtunya di Bandung Minggu di Jogja. Minggu yang lalu juga aku ke Lamongan Sabtu dan Minggunya. Meskipun baru sebentar saja dan masih juga bertemu hutan beton, tapi paling tidak ini juga suatu perjalanan yang membawaku pada hal baru. Aku juga tersadar: ternyata negeri ini masih terlalu asing untuk kita jelajahi, jadi buat apa ke luar negeri?

Hari ini dan kemarin (Sabtu dan Minggu) aku ada di rumah, rasanya aneh banget. Seperti sudah lama nggak disini, jadi bingung harus ngaps. Biasanya di kota lain pasti ada yang dilakukan, atau nggak sedang di perjalanan. Tapi rasa inilah yang aku inginkan datang, rasa yang lain meskipun berada di kamar sendiri. Rasa terasing, rasa lupa harus apa. Suatu hari nanti aku ingin berada di kamarku sambil bilang "aku kangen kamar ini", setelah berlayar sampai ke ujung Timur Indonesia. Mendaki gunungnya, menyelam ke dalam lautannya. Merasakan sinar Matahari dari sudut lain, dari jarak yang lebih dekat. Mungkin sambil rindu rumah, hal yang nggak pernah kurasakan selama ini selama aku hidup di Malang saja. Iya, aku pingin tahu rasanya rindu rumah. Semoga, suatu hari nanti.

Aku ingin merantau, keluar dari zona nyaman ini
Aku ingin merantau, agar aku tahu artinya pulang 
Aku ingin merantau, melihat Indonesia lebih jauh dan lebih dekat
Mendaki gunung-Nya dan menyelami laut-Nya
Menempa diriku dengan jarak dan rindu
yang akan membuatku semakin tangguh dan kuat 
Aku ingin merantau, aku ingin merantau 
Melihat bagaimana dunia di luar sana berputar anggun
Memandangku, menyambutku

Mantep banget rambutnya, semoga suamiku ntar gitu juga haha asik

Saturday 4 October 2014

Bersyukur untuk Romantisme

Bulan tua ini sudah melenggang pergi saja
Digantikan bulan baru,
masih muda dan semangatnya menebarkan wangi lain

Sudah habis bulan September, sudah tepat sebulan aku magang kerja. Selama sebulan ini banyak yang datang dan pergi di kantor. Hal yang pergi antara lain adalah teman kerjaku Mas Nega (si arsitek) yang sudah resign, pengganti Mas Nega anak SMK yang cuma bertahan masuk kerja dua hari juga sudah pergi, isi stoples Tupperware yang sudah dua kali regenerasi, empat buah bolpen Faster yang sudah pada mencelat entah kemana misterius banget pokoknya, dan debu-debu lantai yang pergi karena setiap pagi disapu oleh Mala (si admin). Hal yang datang antara lain satu kardus air mineral yang baru dibeli Mala, laptop baru, printer baru, materai baru, dan debu-debu juga kembali datang lagi karena setiap pintu teras dibuka mereka selalu saja berebut untuk masuk.

Selama sebulan ini juga sudah beberapa kali juga aku izin nggak masuk antara lain karena ada panggilan tes kerja, job fair, ada juga yang karena ngurus wisuda. Padahal ya baru masuk kurang dari sebulan, udah ijin-ijin gitu ya malu juga duh -_- Itupun sudah ada beberapa urusan yang aku titip-titip.

Beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 27 dan 28 September ada job fair yang diselenggarakan UGM, di Jogjakarta tentunya. Berhubung sudah terlalu banyak hari ijin ya, aku atur waktu supaya magang kerja ini tetap masuk tapi juga ke Jogjakarta tetap gas. Sedikit bosan dengan rutinitas setiap hari yang gitu aja, kayanya perjalanan ke Jogja meskipun singkat gini akan jadi selingan yang bagus juga. Apalagi perjalanan nggak sama siapa-siapa, sendirian aja. Pastinya lebih bebas, mau melamun sedih juga gak ada yang akan interupsi haha. Travel jadi pilihan bagus bingit buat berangkat, karena cuma travel aja yang ada berangkat malam hari trus bisa sampainya pagi. Jadi aku nggak perlu bolos magang. Pulangnya pun juga gitu, malam hari tanggal 28-nya aku balik pakai travel dan sampai Malang pagi jam 7 trus langsung gas berangkat magang kaya biasa.

Banyak sekali yang aku dapatkan selama perjalanan singkat ke Jogjakarta. Selain aku bisa makan Magelangan di Burjo (sumpah aku merasa keren banget bisa makan di Burjo kenapa ya, wakakakak), yang utama adalah aku bisa melihat kampus selain UB. Atau UM, si tetangga. Job fair ini diselenggarakan oleh ecc fakultas teknik UGM, jadinya diselenggarakannya pun di UGM. Yoman siapa si yang ngga kenal UGM, Universitas Gadjah Mada kepanjangannya. Setiap tahun dalam SNMPTN dan jalur masuk mandiri aku yakin puluhan ribu cabe-cabean belajar dengan rajin dan makin rajin dari hari kehari untuk bisa masuk ke UGM ini. Aku nggak paham apa yang membuat nama kampus ini begitu besar, mungkin karena beberapa petinggi di negeri kita ini lulusan sini kali ya. Tapi aku juga sudah nggak begitu peduli dengan nama besar kampus ini, karena bagiku yang lebih menarik sampai buat mataku keluar-keluar adalah kampus ini besar dalam artian sesungguhnya. JENG JENG. Suwer sampe bibirku dower.

Jogjakarta ini rasanya isinya UGM semua. UGM ini kayak Burjo yang ada dimana. Setiap tempat pasti ada hubungannya dengan UGM, ada aja embel-embelnya UGM gitu. Mungkin kalau disatukan luas daerah-kekuasaan-UGM ini setara dengan luas Kotamadya Malang ya. Entahlah, Spongebob. Habisnya sumpah ada dimana-mana dan setiap tempat besar banget gitu. Kampus UGM yang kumasukin adalah yang ada GSP-nya (Grha Sabha Pramana). Entah itu kampus yang apa, tapi waktu jalan kaki menuju tempat nunggu bus kota rasanya lengang dan sunyi, suasana yang nggak pernah kudapatkan di UB kecuali pas pulang malam jam 11an haha. Ya mungkin juga karena waktu itu kan hari Minggu. Tapi aku yakin suasananya nggak akan jauh berbeda, akan sama tenangnya seperti ini.

Sampai perjalanan pulang aku masih terbayang dengan segala tentang UGM yang mengagumkan. Ketenangannya, luas lahannya, dan mungkin ketenarannya di telinga semua orang. Aku jadi mengkhayal bagaimana ya kalau misal dulu aku kepikiran untuk masuk UGM, Teknik Sipilnya mungkin. Karena dulu aku terlalu fokus sama pingin masuk jurusan DKV karena suka nggambar meskipun gambarku jelek banget, jadi yang kuincar ya kampus-kampus yang ada DKV-nya aja. UGM nggak ada DKV, jadi nggak terlintas sedikit pun. Pilihan kedua memang Teknik Sipil, tapi aku nggak peduli di kampus mana karena bagiku aku nggak mungkin terperosok pilihan kedua. Songong banget haha. Pokoknya DKV kudu dapatlah. Haha. Tapi ternyata kemungkinan 'terburuk'-lah yang aku dapat, pilihan kedua yaitu UB Teknik Sipil. Ini jurusan yang isinya hitungan semua, ada sih nggambar tapi nggambarnya pakai penggaris alias nggak DKV banget *sotoy*. Benar-benar perkuliahan yang suram, jauh dari bayangan. Nggak akan ketemu sama teman-teman gondrong muka lemas yang jago gambar, nggak ada teman yang kuliahan pakai kaos dengan gambar sendiri, di Sipil semua tampak surem. Udah gitu awal-awal masuk kan musim hujan jadinya selalu mendung, makin surem deh hahaha.

Tidak hanya suasana jurusan yang nampak surem, rasanya UB sendiri pun surem banget. Hawanya panas dan karena di UB ini nggak ada jurusan DKV-nya, rasanya nggak nyaman aja gitu berada di dalam sini. Selain itu susah banget cari parkiran di UB ini, jadinya datang ke kelas mesti kepepet jamnya. Pada jam-jam tertentu pun di dalam kampus bisa macet. Awalnya aku merasa biasa aja ya dengan macet dan sulitnya cari parkir ini. Tapi setelah cerita ke teman-teman yang kuliah di tempat lain, ternyata hal ini sangat aneh buat mereka. Mereka heran banget di dalam kampus kok macet. Bagaimana bisa di kampus sendiri nggak dapat parkiran. Ah iya, nggak jarang juga di badan jalan ada mobil parkir. Mungkin ini juga yang membuat kemacetan (selain karena makin banyaknya murid tiap tahun sangat gak imbang dengan luas UB yang segitu-gitu aja).

Sambil memejamkan mata, aku terus membandingkan betapa kampusku busuk banget jelek banget dan nggak ada bagus-bagusnya dibandingkan UGM. UB mundur! UB, dengan lambangnya Raja Brawijaya kenapa bisa begitu jauh lebih terbelakang dibandingkan UGM yang cuma pakai Patih Gadjah Mada?

Malam semakin menggelap. Tiba-tiba lamunan tegang itu tersela oleh henpon yang tiba-tiba bunyi. Kaget deh, tumben aja ini henpon bunyi. Hahaha. Ternyata dari Mala. Dia menanyakan tentang kunci motorku yang sempat hilang kemarin sepulang kerja magang. Iya jadi siangnya sebelum berangkat ke Jogja itu kunci motor aku sempat menghilang gitu dan ternyata ketemunya di dalam helm, ajaib banget -_- Aku jadi ketawa sendiri ingat kemarin, saat kuncinya ketemu dan hal-hal bego yang aku dan Mala lakukan sebelumnya.

Mala yang kuning!

Baru 30 hari terlewati tapi rasanya dengan Mala aku sudah ketawa bareng 50 hari lebih, haha. Soalnya yang dia ceritakan banyaknya cerita konyol dan aneh tentang hidupnya, aku mesti ketawa sampe bungkuk-bungkuk ngulet di lantai. Meskipun di beberapa kesempatan ada juga dia yang cerita sedih, mengeluh. Seringnya tentang pekerjaan, bersangkutan dengan pendidikan terakhirnya. Bagaimana dia yang hanya lulusan SMK pingin banget bisa kerja kantoran. Mungkin kerja di bank, lalu dapat bayaran diatas dua juta rupiah. Meskipun selama ini bayaran yang dia terima membuat hidupnya tidak merasa kurang, tapi "aku pengen pegang uang banyak, Git..."

Saat aku cerita kenapa ya aku nggak dapat panggilan kerja, Mala tersenyum dan tetap menyemangati sambil berujar bahwa memang sulit sekarang cari kerja, aku nggak boleh pantang menyerah. "S1 aja susah, gimana aku yang SMK." #jleb #jleb #jleb #jleb #crot #crot #crot #crot. Lain waktu kalau aku cerita tentang tugas-tugas semasa kuliah, dia mendengarkan dengan khidmat, kayak lagi upacara gitu. Lalu berkata kalau dia juga pingin sekolah lagi alias kuliah. Mungkin sekedar diploma atau kalau bisa sih S1, supaya bisa kerja dengan bayaran yang lebih. "Meskipun kuliah mungkin berat, tapi kalau sebanding dengar bayaran yang diterima pas kerja kayaknya enak ya, Git." #jleb #jleb #jleb #jleb #crot #crot #crot #crot 

Sementara perjalanan menuju Malang tetap berjalan melewati kota-kota yang sudah terlelap, bayangan wajah Mala seperti ikut dalam perjalanan malam itu. Selama ini banyak cerita tentang bagaimana keseimbangan alam berjalan. Tapi aku cuma dengar dari film, cerpen, dan bacaan lainnya. Seberapapun beruntungnya hidup seseorang, pasti ada celanya. Sebaliknya, seburuk apapun hidup orang lain pasti ada satu sisi justru kehidupannya itulah yang diinginkan orang lain. Magang kerjaku yang pertama ini mendekatkan aku dengan keseimbangan hidup yang paling nyata.

It was about Sawang Sinawang (jare wong jowo sih ngono...)
Bagiku Mala beruntung juga, dianya cantik. Wajahnya putih. Dia nggak perlu mencari perhatian untuk membuat orang melihat dia. Mala makannya juga dikit, jadi nggak perlu takut "duh aku gendutan" kayak aku... ya meskipun dia juga masih mikir gitu sih haha namanya juga cewe zzz. Tapi bagi Mala, aku jauh-jauh lebih indah dari sekedar Gita (ciyeee). Aku sekolah tinggi sampai S1, jadinya aku bisa kerja enak bayaran juga enak. Masing-masing dari kami merasa kehidupan yang lain lebih enak. Tapi akupun sadar, meskipun aku merasa kehidupan Mala lebih baik dalam beberapa hal aku sudah diberi lebih-lebih oleh Allah. Nggak sepantasnya aku mengeluh atau membanding-bandingkan kondisiku dengan dia punya.
Benar Mala bilang, aku sangat beruntung masih bisa sekolah sampai S1. Setidaknya semenyebalkan apapun kuliahku, bagaimanapun tugasnya telah merebut masa mudaku, tapi untuk kedepannya aku justru bisa mendapat pekerjaan yang baik kalau aku mau benar-benar berusaha. Sekalipun aku kuliahnya di UB, universitas yang di dalam kampusnya aja macet... Sebusuk apapun pengelolaan UB, semenyebalkan apapun kebijakannya bagiku yang membuat dia jadi kampus yang begitu padat karena penerimaan murid yang terlalu banyak setiap tahunnya, apapun itu kampus itu adalah kampusku. Kampus yang sudah kudatangi dalam empat tahun ini. Kampus biruku yang mau-maunya menampung aku saat semua kampus menolak aku, bahkan oleh jurusan yang kujadikan prioritas diatas semua prioritas. Kampus yang masih mau membagi sesedikit ilmu baik akademis maupun kehidupan. Kampus yang sudi memberi aku gelar sarjana, sebagai tanda aku sudah melewati proses terakhir menjadi pelajar budiman .




Tetap semangat buat Mala! Terima kasih untuk Universitas Brawijaya, terutama jurusan Teknik Sipil. KBMS terutama S'10 tentang ilmu yang sudah dibagi dan segala pelajaran hidup yang sudah mendewasakan sampai aku bertransformasi penuh dari Gentong menjadi Gita. Selamat memperjuangkan mimpi masing-masing, teman. :)

Monday 29 September 2014

Teman Sedih

Aku pingin cerita tentang tontonan yang aku tonton kemarin, tanggal 25 September! Berhubung yang dilihat adalah Payung Teduh, keren... :-D 
Jadi pada hari itu aku dan lellymon pergi ke acaranya anak FTP UB. Entah apa kepanjangannya itu FTP yang jelas F nya adalah Fakultas. UB-nya Universitas Brawijaya. :-D Acara ini dibuat dalam rangka ulang tahun UKM seni-nya FTP UB gitu. 

Acara entah dimulai jam berapa, tapi aku dan lellymon datang sekitar jam setengah delapan malam. Itu antrian masuk masih sepilah. Untung banget, malaslah aku kalau harus antri, haha. Tapi hambatan ditemukan pada saat pemeriksaan di pintu masuk awal. Peraturan teraneh seumur hidup: jangan masuk dengan membawa botol minuman, berisi ataupun kosong. Heh padahal aku pas itu bawa botol minum Tupperware! Gilak, masa mau ditinggal diluar ini botol mahal! Bisa-bisa dibunuh mamake :-( ZZZZZZZZZZZZZZZZZZ

Tapi dengan suatu cara penyelundupan yang sungguh sempurna bekerja sama dengan lellymon, akhirnya aku bisa juga masuk ke dalam dengan botol minum itu! Xixixixi. Mission completed!

Sekitar pukul sembilan malam, mulailah lampu diredupkan. Akhirnya muncul juga dia penyebar nada malam ini: Payung Teduh! Uwaahhhh, rasanya melihat mereka jalan ke panggung aja suasana sudah jadi sendu. Padahal mereka baru jalan doang. Wkwkwkwk. Ah sedih sedih ah~
Begitu Payung Teduh menyanyikan lagu pertama, aku rasanya udah nggak napak bumi lagi. Ini berasa udah di antara awan-awan hitam oi oi. Sedih nggak lagi terasa dipikul sendiri, ada butiran hujan hitam yang menepuk-nepuk pundak. Semua lagu yang dinyanyikan Bang Is dan kawan-kawannya favoritku, menjadikan malam itu semakin syahdu. Tapi yang bikin kesal banget itu suaranya Bang Is malah tenggelam, yang kedengaran jelas itu malah koor penontonnya nyanyiin liriknya. Hih kan kesitu padahal pengen nonton dan dengerin Payung Teduh, kenapa yang kedengaran malah suara penontonnya sih -_- Tapi aku baru sadar, diantara suara penonton itu pasti ada suaraku juga, soalnya aku ikutan nyanyi bareng hahah bego! :p

sedikit cemas banyak rindunya :D

Selama ini menurut aku Payung Teduh adalah Teman Sedih yang paling setia menemani di kamar. Lagu-lagunya seperti nggak menyalahkan satupun episode mimpi kita, padahal mimpi itu 'terlalu tinggi'. Ternyata beda sekali ya nonton langsung dibandingkan mendengarkan lewat soundcloud sendirian di kamar. Kalau lihat langsung begini, rasanya Teman Sedih benar-benar nyata, liriknya seakan-akan dibuat khusus buat kita. Huahuahuahua. </3

Setelah satu jam atau rasanya cuman semenit, Payung Teduh-nya bubar jalan menuju balik panggung. Penampilan selanjutnya adalah dari Maliq and D'essential. Orang-orang semakin heboh, tapi akunya semakin surem. Soalnya gak tahu lagunya, terus terang aja. Haha. Aku cuman tahunya sih kapan itu mereka ada album baru judulnya Sriwedari, kayak nama SD-SMP di jalan veteran.
Saat mereka tampil penontonnya lebih heboh daripada pas lihat Payung Teduh. Huh! Ya tapi wajar sih, karena lagu-lagunya Maliq terdengar lebih ceria daripada Payung Teduh. Mereka pun sambil nyanyi juga melakukan gerakan-gerakan yang sama persis mereka lakukan bersama, padahal orangnya banyak gitu -,-". Kemudian kalau kita mau menajamkan kuping, yang bikin penonton heboh itu sebenarnya bukan cuma lagunya tapi seorang bernama Lale, dia adalah bassist, atau gitaris, atau apadeh, di Maliq and D'essential itu. Sepertinya yang namanya Lale ini diidolakan karena menurut penonton dialah yang paling kece diantara personil yang lain. Entahlah, tapi perasaan kok ya biasa aja si. Maksudku, yang lain pun gak jelek tapi rasanya mereka jadinya diucuekin aja hahah, Lale aja yang dianggap. Kasiyan.  

aduuuuh Kakak Indah mukanya burem!

Kalau aku justru malah habis perhatian di mbak-mbak yang vokalis, setelah diusut di Google ternyata namanya Indah. Namanya mirip yang di Tersanjung! Kak Indah ini nggak gitu cantik dan pas acara itu nggak ada yang menghebohkan dirinya, tapi oooh dandanannya itu rasanya fresh banget gituuuuuu dilihat. Didukung juga oleh potongan rambutnya yang pendek itu, senang aja gitu lihatnya. :D Syadap pokoknya!
Setelah beberapa lagu dimainkan dan aku cuman zzzzz ditengah orang-orang yang super heboh para Lale-isme, akhirnya ada juga satu lagu mereka yang aku pernah tahu. Lagu lama, tapi membawakanku Teman Sedih baru. Haha. 

"mungkin memang, ku yang harus mengerti
bila ku bukan yang ingin kau miliki
salahkah ku bila 
kau lah yang ada di hatiku..."


Judulnya: Untitled. Tidak berjudul. Benar sekali, haha. Cocok bangetlah dengan isi lagunya. Karena perasaan sebelah pihak seperti itu, mau dikasih judul apa juga? 

"Lebih baik memang tidak berjudul, dibiarkan kosong saja. Supaya setiap orang yang sedang menjiwai lagu itu bisa mengisinya dengan satu nama."

Sunday 14 September 2014

After Graduate

Ada berita baik yang telat untuk di publikasikan dalam internet: beberapa waktu yang lalu, aku sudah dinyatakan lulus. Iya, jadi ST. Sarjana Terdampar. Muahahaha

Ah seriusan kok tapi. Sekarang di belakang namaku ada ST-nya haha. Alhamdulillah.

"Git selamat yaaaaa!" 
"Y."

Setelah melewati lika-liku pengerjaan skripsi yang membosankan dan menjemukan, lega banget rasanya sudah lulus. Nggak ada lagi ngerjakan tugas dari pagi sampai pagi, nggak ada lagi bayar SPP, nggak ada lagi fotokopi rangkuman temen buat kuis, nggak ada lagi H2C nyari dosen, dan lainnya. Pokoknya setiap hari itu Minggu deh. Bayangkan! Betapa ahzeg~
Tapi kawan, disisi lain ternyata kelulusan ini memunculkan sisi tidak enak buatku, yaitu tidak lagi mendapat uang saku dari bapak. Iya, semenjak yudisium si bapak entah lupa atau emang sengaja, jadinya ngasih sangu cuman 3 hari sekali gitu. Padahal biasanya harian, sekitar 20,000 begitu :( Yah meskipun setelah lulus juga jarang sih keluar rumah, sehingga pengeluaran juga semakin hampir tidak ada karena makan juga pasti di rumah. Tapi sungguh aneh ya nggak megang duit sama sekali.

Hari demi hari berlalu, si bapak malah semakin parah dalam tidak memberi uang saku huakakaka. Okelah, Bapak, aku anggap ini tantangan! Mengingat gelar sarjana sudah diraih, akhirnya gua (diucapkan dengan logat anak jawa barat yang gaul) memutuskan untuk mencari uang sendiri dengan magang sajalah di perusahaan-perusahaan kecil di Malang, biar sesuai bidang kuliah gua pilih pemborong atau konsultan gitu. Ah ya, selain karena ingin uang saku aku juga merasa "setiap hari adalah hari Minggu" itu lama-lama bikin bosan juga. Kegiatan gak jelas, panggilan tes kerja juga baru sekali itupun gagal di tes pertama, aneh bangetlah gak punya kerjaan gini. Lama kelamaan aku juga takut ilmuku yang sudah limit ini menguap. Udah bego, lupa pula. Gawat banget!
Kemudian dengan mengingat dan menimbang beberapa perusahaan yang aku tahu, pada akhir Agustus pun aku mengajukan lamaran ke CV. Sumber Alam Perkasa. Ini kepala sukunya Pak Zainal namanya, bapaknya teman aku, dan istri dia juga teman arisan ibuku. Tapi aku kesana ngelamarnya bukan atas nama teman anaknya atau anak teman istrinya. Tapi sebagai Filliyani Sagita, ST. Sarjana Tolol yang pengen punya duit sendiri dan ingin mengembangkan ilmu :) Alhamdulillah sekali bapaknya kebetulan lagi butuh anak Sipil, jadilah seminggu setelah lamaran diajukan aku bisa langsung kerja situ. Sebenarnya aku bisa aja sih ngelamar ke bapakku sendiri, berhubung si bapak ini konsultan. Tapi yah kantornya di rumah, nah kalau kerjanya di rumah aja pasti suasananya gitu2 aja. Bikin ngantuk -_-

Sekarang sudah tanggal 14, hampir sudah setengah bulan aku magang di SAP ini terhitung sejak 1 September hari pertamaku magang. Di SAP cuma ada tiga pegawai, yaitu aku, Mas Negara dan Mala. Mala ini bagian administrasinya gitu, sementara Mas Negara adalah arsiteknya. Dua orang ini gilanya cocok jadi bikin betah hahaha padahal biasanya aku butuh adaptasi lama banget dengan orang baru.

Tapi meskipun menemukan teman kerja yang nyaman aku nggak lantas ingin terus bekerja di SAP. Aku masih ingin bekerja keluar kota Malang, keluar Jawa Timur, atau kalau bisa aku pingin banget keluar Jawa. Sambil melihat negeriku yang cantik ini, sambil merantau.

Untuk semua teman yang sedang mencari-cari kerja, semangat ya kawan. :D

Saturday 13 September 2014



Akhirnya aku cuma bisa berbagi rindu dengan garis dan titik

Tuesday 9 September 2014




Entah mataku yang selalu terbayang atau memang purnama malam ini benar memantulkan wajahnya dari tempat dia berdiri. Beratus kilometer dari jendela kamarku.Kupandangi bulan lebih dekat tanpa kedipan, hingga warna kuning keemasannya berubah menjadi merah. Sampai-sampai awan cemburu, ia mencoba bergerak kesana kemari menutupi pandangan. 


Monday 4 August 2014

Pacarnya Rangga

#lagisendu

Pernahkah kalian lihat film Ada Apa dengan Cinta (AADC)? Jika pernah, pastilah ingat dengan tokoh utamanya. Cinta~ dan~ Rangga~

Jadi kalau ada pertanyaan, "siapa itu Cinta? Atau apa itu Cinta?" 
Jawaban paling tepat adalah, "ya pacarnya Rangga."

Tapi sepagi ini, tidak ada yang bisa menggambarkan lebih jauh tentang "pacarnya Rangga" selain kalimat-kalimat ini. Mungkin familier, tapi aku nggak mengutip dari syair manapun. 

Tentang "pacarnya Rangga" yang bisa membuat tertawa sampai terjungkal
Tentang "pacarnya Rangga" yang bisa membuat air mata keluar berhari-hari, malam demi malam 
Tentang "pacarnya Rangga" yang membuat kita mencarinya, tapi setelah ketemu kita akan lari menjauh 
Tentang "pacarnya Rangga" yang membuat tidur lebih nyaman selewat tengah malam 
Tentang "pacarnya Rangga" yang membuat nasi terasa karet mentah! 
Tentang "pacarnya Rangga" yang membuat mulut ini tidak bisa berhenti mengoceh
Tentang "pacarnya Rangga" yang membawa pengaruh aneh ke udara sekitar, oksigen seakan tidak masuk paru-paru
Tentang "pacarnya Rangga" yang membuat bumi seisinya menganga, padahal dia hanya tersenyum
Tentang "pacarnya Rangga" yang membuat pagi kadang suram kadang tentram 
Tentang "pacarnya Rangga" yang membuka jalan agar aku melihat seisi hutan lebih jauh dan lebih dekat
Tentang "pacarnya Rangga" yang berjalan semeter di depan 
Tentang "pacarnya Rangga" yang sangat suka melihat ke atas ke tempat bulan duduk dan berdiri
Tentang "pacarnya Rangga" yang datang membagikan cahaya
Tentang "pacarnya Rangga" yang pergi meninggalkan duri, sunyi, dan sepi
Tentang "pacarnya Rangga" yang diharapkan untuk kembali

Banyak definisi baru mengenai "pacarnya Rangga" dari tempat aku berdiri. Tapi yang jelas dia bukan lagi perempuan, apalagi Dian Sastro. Dia laki-laki.