Monday 26 January 2015

Sahabat Seblak

Bagian barat Pulau Jawa sana, ada satu kota yang memikat hati banyak orang. Bandung namanya. Semua yang pernah kesana pasti akan selalu terngiang dengan senjanya, langitnya, gerimisnya, kulinernya, tata kotanya, Sunda-banget-nya, angkotnya, stasiunnya, dan ah... apapun yang ada disana cantik banget sih. Gak mungkin ditulis satu persatu karena itu berarti nulis setiap anu yang ada disana. Hahah! Love you Bandung!

Sayang sekali itu kota jauh juga dari Malang, padahal ada satu momen bersejarah tercipta di sana yang pingin aku rayakan mingguan. Terjadi pada hari Sabtu tanggal 25 Oktober 2014 sekitar pukul 16:47. Itu adalah saat pertama.....aku.....melihat dia: seblak basah telor. Kemudian aku memakannya. Terus aku jatuh hati sampai sekaranggggggggggg. Oh, well... Sejak saat itu juga, mie kocok lengser dari posisi nomor 1 di hati aku. Kemudian aku bertransformasi menjadi Sahabat Seblak. Emangnya Dahsyat aja yang punya sahabat~


---------------------------------------------------------------------------------------------------

Git, apa itu Seblak?
"Seblak adalah kerupuk mentah yang sengaja dibantatkan memang sedang populer sebagai cemilan sunda Jawa Barat di kota Bandung, Cimahi, Soreang, Cileunyi kemudian menyebar ke kota Bogor, Jakarta, Denpasar Bali, Surabaya, dan kota lainnya. Versi asli seblak ini adalah seblak basah pake telor yang terbuat dari kerupuk mentah yang direndam air panas terlebih dahulu, kemudian perkembangannya bermunculan aneka kreasi olahan menu seblak kering garing setan super pedas hot, seperti basreng, cireng." 

NB: Rasanya kenyal-kenyol khas jajanan terbuat dari kanji seperti cilok, cireng, cimol, dan sebagainya. 

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Sebagai Sahabat Seblak, sore tadi aku coba masak seblak. Aku lagi pingin banget siiih makan seblak, tapi belum ada yang jual di sini. Ke Bandung juga nggak tahu kapan bisanya. Jadi cara satu-satunya adalah dengan masak sendiri. Ternyata yah di internet ada juga resepnya. Gampang pula! Wow kukira ribet gitu, soalnya kan enak bangeeetttt .

Gampang kaaannnn 

Menurut sumber di YouTube ini, bahan-bahan yang digunakan adalah: kerupuk mentah yang terbuat dari aci, bawang merah dan putih, air, lombok (cabe), gula, air asam jawa atau cuka juga bisa menurut sumber lain, dan telor kocok. Kerupuk sebagai bahan utama seblak, kalau yang kumakan di Bandung itu sih warnanya yang kuning oranye itu ya. Tapi kalau melihat liputan tv (tapi lihatnya di Youtube) ada juga yang pakai kerupuk warna-warni gitu, atau malah kerupuk yang melingkar-lingkar itu yang harganya seratusan itu loh biasanya di warung-warung di dalam blek sendiri. Pokoknya yang terbuat dari aci/kanji. Hanya saja setelah aku coba masak tadi ternyata memang yang paling enak itu ya yang warna kuning oranye itu.

Itu kerupuk yang kuning lebih enak dipakai

Aku kurang suka dengan makanan yang dikasih gula, karena itu aku nggak menggunakan gula untuk masak seblak ini. Aku juga gak memakai air asam jawa karena malas belinya haha. Ga tau deh sebenarnya boleh atau nggak kedua bahan itu dihilangkan. Tapi masak selalu masalah selera sih. Terserah anda. Relatiflah. Begitu juga dengan penyedap rasa. Aku nggak pernah masak pakai penyedap rasa, juga untuk seblak ini. Resep yang ditulis di Youtube memang tidak menyebutkan penyedap rasa atau vetsin, Tapi kalau kita melihat referensi lain ada yang menuliskan. Apalagi penyedap rasa dan vetsin sebenarnya adalah sumber dari gurihnya semua masakan yang pernah kita coba. Iya serius. Nah untuk seblak (menurut Neng Iroh, entah siapa dia) punya penyedap rasa rahasia yaitu Atoom Bulan. Merek penyedap yang inilah khususnya yang membedakan seblak basah buatan orang Jawa Barat dengan lainnya, karena kabarnya penyedap rasa merek ini hanya bisa dibeli di titik-titik tertentu di Jawa Barat gitu. Hihihi, benar begitukah? Keren gila orang Jawa Barat yah, eksklusip!

Zaman yang makin trendi membawa seblak kepada campuran yang lebih banyak macamnya. Jika awalnya hanya telor saja sekarang sudah banyak pilihannya seperti makaroni, bakso, ceker, tulang, kwetiaw, sosis, dan banyak lagi. Mungkin 5 tahun lagi bisa ada seblak basah campur baling-baling bambu. Kalau yang kubuat ini adalah seblak telor, karena duitnya cukupnya buat beli telor aja hahaha. Pokoknya semua terserah anda~

Baru tahu wujudnya dari internet
(Sumber: http://bumbuatombulan.blogspot.com/)

Memasak seblak membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit. Kalau aku sih yang lama itu nunggu kerupuknya lembek. Awalnya untuk melembekkan kerupuk ini aku coba dengan merendam kerupuk di air panas (disebut di website lain). Tapi ditunggu-tunggu lama banget yah. Karena gak sabaran akhirnya aku rebus aja itu kerupuk, seperti yang disarankan di Youtube hahaha. Dua kali kerja. Saranku, kalau nggak sabaran mending pakai cara yang kerupuknya direbus saja. Kalau masih juga nggak sabaran, sebaiknya beli aja tuh seblak basah instan. Kabarnya sih udah ada. Tapi kalau menurut aku yah lebih enak beli yang nggak instan, karena pastinya yang tidak instan itu pengawetnya nggak ada dan lebih bergizi (kerupuk emang gizinya apa, Git?-_-) :-).

Kayaknya telurnya kebanyakan yah?

Saat aku di Bandung, aku selalu menginapnya di kosan teman aku yang saat ini sedang kuliah di ITB ambil S2. Kosannya itu daerah kebun binatang situ. Sekitaran situ yang jual seblak aku cuma nemu satu (yang aku pernah makan sih ya). Harganya Rp5000,00, biasa di panggil Teh Sinta yang jual itu. Enak sih, tapi rada jorok hahaha jadi mau beli kesana lagi gimana gitu :-|. Kalau mau jalan sedikit ke Jalan Ganesha, ada yang selalu direkomendasikan teman kosnya teman aku. Dia nyebutnya sih seblak SR, karena jualannya di depan SR alias Seni Rupa-ITB. Lebih enak disitu katanya. Aku sendiri belum berjodoh dengan bakul seblak SR itu, kalau kesana mesti udah tutup. Sedih :-(. Ada lagi yang direkomendasikan teman kuliahnya temanku, seblak basah di Jalan Riau. Itu entah dimana juga, belum nemu angkot kesananya jadi belum pernah kesana juga hahaha. Tapi sepertinya dimanapun kita menemukan seblak basah pasti rasanya enak saja, asalkan yang masak masih manusia. :-)

Sekitar tahun 2008 atau 2009, kita sering dengar tentang pencurian kebudayaan kita oleh negara tetangga ataupun yang bukan tetangga. Aku berharap, kejadian ini nggak akan berulang pada seblak basah favoritku ini karena sepertinya ko di berbagai referensi yang aku baca belum seragam dan jelas keterangan asal muasal seblak ini. Ada yang bilang supaya nggak begitu kita harus melakukan hak paten. Aku kurang paham gimana melakukan hak paten itu sih, tapi bagaimanapun caranya semoga siapapun di luar sana ada yang segera melakukannya. Mungkin lebih baik kalau penemu resepnya sendiri yah, atau siapalah wakil orang Jawa Barat sana gitu. Sayang banget kalau suatu hari kecolongan lagi. Sekaligus kita menghargai penemu seblak siapapun dia, yang pastinya orang paling jenius se-Indonesia setelah aku. 

Wednesday 21 January 2015

Allah is The Best

Sejak hari Sabtu lalu aku kedatangan tamu. Bulan, begitu orang-orang perempuan memanggilnya. 
Sekarang sudah hari Rabu dan dia belum juga pergi. Aku senang aja sih dia datang. Aku juga seperti semua perempuan yang selalu mengharapkan kunjungannya sebagai tanda bahwa aku masih normal. Hwehehehe. Tapi meskipun begitu, kalau Bulan datang aku juga banyak ngeluhnya karena di keseharianku terjadi perubahan. Memang nggak banyak perubahan itu, tapi perubahan tetap saja perubahan.

Saat Bulan datang, aku jadi kurang bisa kemana-mana. Sebetulnya kemana-mana disini artinya cuma dua sih, ke tempat wudhu dan ke masjid. Hohoho. Waktu yang biasanya kugunakan untuk kesana jadi kosong, tapi aku juga nggak tahu harus menggantinya dengan kemana.

Saat Bulan datang, aku kehilangan waktu untuk berdua saja dengan satu-satunya teman curhatku saat ini. Dialah Allah (Allah marah nggak ya aku bilang Dia teman curhat :-|). Biasanya sehari bisa lima kali lebih bertemu, lalu cerita tentang hal yang sama atau berbeda-beda setelah sholat. Waktu masuknya sholat adalah waktu yang paling aku tunggu, karena ini kesempatan bisa bersama Dia. Seperti halnya anak SMA yang nunggu jam istirahat gimana sih? Tahulah...
Aku seneng bercurhat-curhat sama Allah setelah sholat. Rasanya? Sama seperti anak-anak cewe di seluruh dunia yang seneng bisa curhatan sama sohibnya pas lagi ada acara nginep, pas jam pulang, pas jam istirahat, bahkan pas jam pelajaran. Nyaman. Selalu ingin begini terus, berlama-lama dan gak pingin pisah. Karena dengan-Nya aku bisa cerita apapun, dalam kalimat puitis yang aku rangkai sendiri. Aku gak perlu takut yang kuceritakan akan bocor ke siapa-siapa. Lalu aku bisa minta apapun, meminta ampun bahkan meminta kamu :-p Aku bisa nangis seratus kali senggukan dan Allah akan menenangkanku dengan cara yang aku suka: nggak menepuk-nepuk pundakku, nggak memberi penghiburan, nanyain 'kenapa git?', atau lainnya. Karena Allah tahu, kalau air mata sudah turun untuk menuju muaranya aku nggak perlu mencari kata lagi untuk menceritakan semuanya. Cukup membiarkannya mengalir, jatuh ke tanah bersama sekawanannya menuju laut. Menjadi satu dengan gumpalan muram yang lain.

Saat ceritaku mengalir, Allah gak menyela sebelum cerita itu berakhir. Allah seperti buku diary aku jaman SD dulu, buku diary bergambar strawberry hologram. Buku itu, Allah itu, ga pernah membanding-bandingkan cerita aku dengan cerita-Nya, seperti yang orang lakukan akhir-akhir ini (bikin sebal!-_-). Membanding-bandingkan hanya akan membunuh karakter. Dia tahu aku cuma ingin didengarkan. Maka begitulah Dia setiap waktu, sambil memandangiku entah dari mana.

Dia bukan hanya mendengar apa yang aku katakan, tapi juga mendengar apa yang tidak kukatakan.
Thank You, Allah! 


Aku bersyukur masih menjadi perempuan normal yang masih dikunjungi Bulan setiap bulan. Tapi Ya Allah, apakah kau merasakan? Aku betul-betul merindukan-Mu. 

Sunday 18 January 2015

Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda
Dan yang tersial adalah berumur tua
Berbahagialah mereka yang mati muda
Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada
Berbahagialah dalam ketiadaanmu

- Soe Hok Gie - 

***

"Selamat ulang tahun, Gita."
Pada sisa umur ini, lebihkan waktu untuk Indonesia.

Monday 12 January 2015

1992

Sejak kecil, aku memiliki kebiasaan untuk selalu mengingat tahun kelahiran aku (ya siapa juga yang ga ingat ya, ini mah bukan kebiasaan haha-_-) untuk membandingkan diri dengan orang lain--dari segi tahun lahirnya. Tahun lahirku 1992. Jadi misal, baca-baca majalah gitu. Ada biodata model, sebut saja namanya Bunga. Dia lahir tahun 1983. Saat itu aku kelas 2 SD, yang berarti dia kelas 3 SMP. Terlintas pasti di pikiran aku: "Wow Bunga kelas 3 SMP ya. Oh model. Wow beda (umur)nya jauh ya sama aku. Wow." Tapi begitu aku naik kelas 3 SMP, kemudian ada temanku jadi model komentarku, "wow dia sama 1992 kayak aku. Kami seumuran. Tapi dia model. Oh jadi sekarang aku sudah memasuki masa-bisa-jadi-model. Loh seumuran aku sudah bisa jadi model? Berarti aku sudah jauh ya umurnya, sudah besar kayak Bunga yang kapan dulu kulihat itu? Wow!"

"Hih apaan sih, Git?" 

Aku selalu melihat orang yang tahun lahirnya di atasku sebagai seorang yang jauuuuh lebih tua, jauh lebih dewasa. Sekalipun bedanya hanya setahun atau dua tahun. Nah apalagi yang sangat jauh, tujuh tahun misal! Haha. Saat kecil aku mengamati semua apa yang ada pada mereka, segala kedewasaan mereka. Bagaimana mereka dandan. Mereka yang sedang ikut ajang abang none. Mereka yang lahir tahun sekian sedang melakukan ini dan itu. Dalam usia sekian mereka sedang ngapain aja kegiatannya.
Kemudian ketika aku (dan seluruh manusia) yang kelahiran tahun 1992 memasuki usia sama dengan mereka, usia yang dulu kuanggap 'wow kalian adalah orang dewasa', aku akan merasa heran sendiri aku bisa melakukan segala hal kedewasaan itu tanpa akan dianggap aneh. Tanpa ada yang menghujat. Justru keanehan datang dariku sendiri, aku merasa heran sendiri aku sudah memasuki segalanya ini. Tahun lahirku tetap 1992. Aku sadar bertambah tahun aku juga bertambah usia. Tapi benarkah sekarang aku sudah hampir 23 tahun? Masa sih? Bukankah umur 23 tahun dulu milik orang yang lahir tahun 1987? Apakah seluruh anak di dunia ini yang lahir tahun 1992 umurnya berarti sama denganku? Lalu benarkah aku sudah memasuki zona orang dewasa, sama dewasa dengan wajah-wajah kakak-kakak yang dulu kulihat di majalah waktu kecil dulu? Ya ampun, jadi sekarang aku telah dianggap tua, seperti aku dulu menganggap kakak-kakak berumur 23 sudah sangat tua? Ooh, hari ini aku membaca koran dan kulihat salah seorang teman SMA-ku ada yang ikut abang none. Hah bukankah itu ajang yang diikuti orang umur 20an? Loh tapi kan aku juga umur segitu, begitu pula si ini, eh dia kan seumuran denganku! Lahirnya 1992. Berarti umurnya sudah 22 juga. 20an lebih. Kenapa aku heran ya? Siang ini aku berbelanja ke swalayan. Saat berbelanja aku masih memikirkan harga dan sisa uangku berapa kalau mau membeli susu kotak di swalayan, apakah ini benar untuk usia hampir 23? Aku dulu waktu SD memikirkan itu, aku kira kalau sudah dewasa, uang berapapun yang keluar akan oke saja. Ternyata kok sama saja ya?

Begitulah pertanyaan yang muncul saat aku memandangi diriku sendiri dan teman-temanku seiring berjalannya usiaku, namun dengan tahun kelahiran yang tak berubah. 1992. Ada nggak sih yang isi otaknya sama dengan aku di luar sana?

***

Siang tadi adalah hari bahagia teman sekuliahku, karena siang tadi dia menikah! Yeeeeeeeee yuhuuuuuuu.

"Git, temen apan?"
"Temen kuliah, seangkatan, sejurusan, sekelamin."

Sehari-hari dia dipanggilnya Aul. Orangnya cantiiiik luar biasa. Banyak senyum. Tapi jarang sekelas sih jadi ketemunya suka nggak lama. Lahirnya memang bukan 1992, tapi 1993. Tapi anggap aja seangkatanlah lahirnya, hahah!

semoga happy teruuuusss

Aku senang banget datang ke resepsi Aul. Meskipun undangannya nggak diberikan personal (dikasih soft file di line, grup pula-_-) tapi ini adalah undangan pertama aku loh dari generasi 1992. Ya anggap saja 1992, meskipun dia lahirnya 1993 hahaha. Sekali lagi, otakku jadi berputar ke masa lalu, ketika semua orang yang memberi undangan nikah adalah generasi 1978 atau 1988. Tapi wow, sekarang yang mengundang aku adalah anak 1992! Hwahaaaaa.

Tapi resepsi ini tidak membawaku jauh ke dalam pertanyaan yang bertumpuk-tumpuk. Untunglah, soalnya aku benar-benar ingin menikmati resepsi ini, resepsi pertama aku. Hanya saja, rasanya senang tapi ya aneh bertemu teman-teman dan Aul sendiri dalam suasana baru. Terakhir kumpul berbanyak bersama Sipil UB'10 pas senang-senang, pas mencari-cari waktu bersantai diantara jadwal asistensi skripsi. Biasanya kami foto berbanyak, berdua-dua, atau bertiga-tiga di kampus aja. Kadang di tempat makan, tempat futsal. Tapi sekarang? Kami foto-foto bersama di nikahan teman kami. Teman pertama seangkatan yang nikah. Teman yang biasaya foto sama kami juga. Teman 1992...

2011

2014

2015

Aku senang melihat wajah Aul yang sangat senang dan bahagia di harinya dia. Semoga wajah itu akan terus begitu, dan kami semua juga akan begitu di hari kami masing-masing. Semua, anak Sipil, anak 2010, dan anak 1992. :-)


"Selamat menikah teman 
sapalah sang mentari di ufuk baru..."

Terima kasih hujan, malam ini kau yang kurindukan dan kau jugalah yang datang. Kau tandai hadirmu dengan rintik minor bertatapan dengan tanah. Hujan, malam ini jangan lupa mampirlah ke rumah Aul. Semarakkan kebahagiannya dengan dinginmu, sehingga akan terasa hangat rumahnya. Bersama suaminya, ketika ia terbangun besok pagi akan ada bau tanah basah yang kau tinggalkan sebagai permulaan hari barunya yang lebih baik... Semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah Aulia Quranna Sukamto, ST. dunia dan akhirat. :-)

Wednesday 7 January 2015



Kehadiranmu di dunia akan selalu ditemani dua cinta. Satu yang berdiri di depanmu, dialah yang kau cinta. Bulan. Satu yang berdiri di belakangmu, dialah yang cinta kau. Matahari 

Matahari juga ingin jadi Bulan, tapi ia tahu sejauh mana harus berkhayal. 
"Mana mungkin aku? Yang tak pernah berkata puitis//mana mungkin aku, yang tak pernah berpendar cantik dalam gelap//mana mungkin aku, yang tak pernah kau kirimi arti rindu."


Hanya kau yang tahu siapa Bulan
Tapi aku lebih tahu tentang Matahari
Karena bertahun-tahun kau memunggungiku, bagaimana bisa aku tak tahu?