Sunday 18 October 2015

Sulit Tidur

Sudah dua hari ini aku sulit tidur di malam hari. Setelah berbaring dan merem, nggak juga kunjung terlelap. Kutunggu sepuluh menit, dua puluh menit, empat puluh menit, sampai sejam bahkan sejam setengah kemudian masih aja jiwanya di bumi. Rasanya aneh banget, karena biasanya keserempet bantal dikit sudah tidur. Memang baru dua hari, tapi kenapa bisa begini yah? Padahal malam hari kondisi badan selalu lelah banget karena seharian bekerja (duduk lama bikin capek), nyuci, masak, dan lain-lain.

Mungkinkah ada hubungannya sama isi otak? Minggu ini rasanya sungguh kompilasi dari tiga generasi waktu, semua berkumpul di otakku, dijejal-jejalkan sembarangan pokoknya semua masuk aja. Memori-memori masa lalu yang sudah diusir secara halus, pelan-pelan maju meminta ruang lagi untuk dipikirkan. Sungguh menganggu dan jadi beban, lantaran kondisi yang saat ini aja sudah cukup bikin riweuh. Juga aku sering merasa gelisah memikirkan yang akan datang, apakah target-target yang aku pasang bisa aku raih atau nggak. 

Hari ini adalah hari Minggu. Kegiatan nggak lebih padat dari weekday biasanya. Semoga bisa tidur normal. 


Wednesday 14 October 2015

Jogja Sendiri (2/2)

(terusan dari jilid I)

Ringkasan tulisan pendahulunya: Gita menghabiskan Kamis. Jumat, Sabtu, dan sedikit Minggunya di kota Jogjakarta. Perjalanan kembali ke Jakarta ditempuhnya menggunakan pesawat, bertolak dari Bandara Adi Sucipto. Renungan saat perjalanan kembali itulah yang ada di jilid II ini.

***

Pesawat bertolak dari Bandar Udara Jogjakarta Adi Sucipto pada pukul 11.25 WIB. Ternyata aku duduk di lajur kanan paling pojok dekat jendela, meskipun sebelahku nggak ada jendela.

"Git, maksudnya?"
"Ya bukan yang pinggir dekat jalan, tapi yang dekat jendela. Tapi sialnya itu pas yang nggak ada jendelanya, kan ada tuh pas dekat sayap atau mana gitu lupa sih."

Padahal pemandangan dari atas pesawat yang paling bisa bikin aku betah di pesawat, awannya awannya! Cuma di pesawat aku bisa lihatin awan dari atas. Kan biasanya dari bawah. 

Nggak ada pilihan kegiatan lain selain lihatin kondisi di dalam pesawat, yang terdekat adalah dua kursi sebelahku. Merek sepertinja adalah sepasang suami istri muda, kelihatan dari merekanya yang masih nempeeeeeel banget macam double tip. Si istri di sebelahku pas dan si suami sebelahnya lagi di dekat jalan.
Saat akan take off, disitu drama dimulaiSi suami menengok ke arah si istri, kemudian mengulurkan tangan kanan dia dengan telapak hadap ke atas. Maksudnya jelas, dia minta si istri menggenggam tangannya. Si istri yang menangkap kode si suami melakukan hal tersebut. Dia memasukkan jarinya di sela-sela jari suaminya. Jadilah tangan mereka saling genggam selama take off.
Euh... kenapa aku bisa dapat duduk di sini yah.   #CiyeGitaPengenYah

Beberapa jam sebelumnya saat naik bus Trans Jogja menuju bandara, aku sempat barengan dengan sepasang bule laki dan perempuan asal Prancis. Mereka lagi bercakap sama mbak-mbak. Dari percakapan mereka aku jadi tahu bahwa mereka berdua doang lagi liburan di Jogja ini, baru dateng. Baru banget. Sebelumnya ini mereka dari Kalimantan. Sambil lihatin mereka aku bicara sama diriku sendiri dalam hati, "aku nyaman sih pergi sendiri. Tapi sepertinya lebih aman ya kalau pergi berdua?"

Dalam pesawat yang terus bergerak ke arah barat, aku jadi berpikiri tantang hal-hal semacam di atas. Otak ini banting setir dari pingin lihat awan dari atas menjadi kegelisahan yang tak menentu, semacam nyetir di permukaan aspal yang mulus tiba-tiba jadi nyetir excavator. Aih, kegelisahan? Ya sebut saja gitu dulu.
Aku terbiasa jalan sendiri, tapi di dalam hati kadang sepi juga rasanya. Pingin juga berjalan berdua dengan dia--belum tahu siapa, sementara sebut saja Travelmate of Mine. Mereka para bule dan si pasangan suami istri itu betul-betul bikin aku suram, sampai rasa sepi itu bangkit lagi. Aku jadi lupa sama kenyamananku berjalan sendiri.
Aku jadi kepingin jalan-jalan ke Jogja dengan Travelmate of Mine, kemana saja asalkan berdua. Boleh jadi Jogja adalah awal dari perjalanan-perjalanan lain. Selanjutnya Banda Naira. Selanjutnya Wamena. Selanjutnya Bukittinggi. Tanjung Puting. Solo. Nusa Lembangan. Pulau Komodo. Belitong. Palembang. Ujung Kulon. Riau. Mana lagi ya? Sulit menyebutkan semua tempat di Indonesia satu persatu, tapi yang penting rinduku sudah kuletakkan di setiap sudutnya sebagai penanda sehingga nggak akan ada yang terlewat.
Lalu kami nggak hanya akan berjalan di bawah awan kota-kota itu, kami juga mau berjalan di atas awannya. Ke puncak-puncak gunung tertinggi, yang selama ini cuma bisa aku daki sendiri di riak angan-angan, yang selama ini cuma bisa aku pandangi kemisteriusannya dari tengah jalan raya. Hingga kami merasa harus belajar kembali kepada kerendah hatian, maka kami memutuskan berjalan ke pantai. Juga menyelam jauh ke dalamnya lautan Indonesia.
Perjalanan itu nggak akan berhenti, kami terus berpindah meski cuma selangkah. Kecuali ujungnya sudah kami raih bersama: Surga-Nya.

Mungkin nanti kami akan sering naik pesawat, tapi kalau memungkin naik kereta api akan kami pilih kereta api. Kemudian waktu matahari hampir terbenam-benam, Travelmate of Mine menengok ke arahku, kemudian mengulurkan tangan kanan dia dengan telapak hadap ke atas. Maksudnya jelas, dia minta aku menggenggam tangannya. Aku yang menangkap kode Travelmate of Mine melakukan hal tersebut. Aku memasukkan jariku di sela-sela jarinya. Jadilah tangan kami saling genggam selama perjalanan.


Secepatnya dialah 'bersama-sama' itu

Sunday 11 October 2015

Jogja Sendiri (1/2)

Kalau bagi Anies Baswedan "Setiap sudut kota Jogja itu romantis", aku nggak bisa menggambarkan Jogjakarta lebih baik dari kata-kata beliau. Xixixixix. Maka di situlah, di Jogjakarta, aku menghabiskan hari Kamis, Jumat, Sabtu, dan sebagian Mingguku bulan Juli lalu sebelum kembali ke rutinitas kerja kantoran di Jakarta.

Lebaran idul fitri lalu para kepala suku kantorku memutuskan untuk memberikan libur lebaran yang cukup panjang. Dibandingkan kantor lain sih itu udah panjang yah, sekitar 10 hari sepertinja. Liburan panjang itu nggak kuhabiskan semua di rumah tapi kusisakan beberapa hari untuk...berlibur...di Jogjakarta. Keliling-keliling kota sendirian, jalan kaki ke museum, naik Trans Jogja, dan banyak deh.

23 Juli 2015

Berangkat pukul 8 pagi dengan Malioboro ekspres, sekitar jam 4 sore aku sudah menginjakkan kaki di Jogjakarta tepatnya Stasiun Tugu. Selama di Jogjakarta ini aku menginap di Kaliurang loh, kosan teman SMA aku yang juga kerja di Jogjakarta namanya Lely. Yuhuuuu dapat murah deh. Semalam bayarnya cukup Rp20.000,00 aja! :-D
Sambil menunggu dijemput The Lely sore itu di pintu keluar stasiun aku lihatin bule-bule yang lewat dan para tukang ojek yang nawarin jasanya. Banyak banget bule yang ke Jogjakarta, entah dari mana saja mereka. Bermacam-macam juga rupa para bule itu. Ada yang sudah tua, ada yang sekeluarga, ada juga yang kayanya teman sepermainan cewe berdua gitu. Ada yang ada juga yang sendirian, udah gak tua tapi masih hot banget, sensual karena kulitnya yang coklat terbakar matahari. Ojeknya jadi pada rebutan. Gelo banget.

Sekian lama menunggu kedatangan The Lely, saat hampir azan maghrib berkumandang barulah dia datang dengan motornya. Langsunglah kami ke masjid buat sholat dulu terus langsung gas makan malam karena mulut aku ga bisa banget kalau ga ada yang dikunyah.
Oleh karena Jogja adalah kota sejuta angkringan, malam itu aku memilih untuk makan di angkringan sama The Lely. Dia tahunya angkringan yang di dekat stasiun, jadilah kami makan di sana. Nasi kucing sama sate-satean gitu deh. Rasanya seneng banget bisa makan di pinggir jalanan Jogja. Aku merasa sangat Jogja banget. Hepi banget. Meskipun hepi itu nggak bertahan lama, karena...
Selesai makan adalah saatnya membayar. Ini yang bikin hepinya buyar, karena makan berdua doang habisnya Rp41.000,00!  Oh my goat kenapa bisa segitu yak? -_- Itu tadi sate kayanya berapa biji doang kenapa tembusnya segitu banget?! Apakah sate itu mengandung nutrisi hewani yang tidak semua manusia bisa mencernanya?! Ga nyampe otakku mikir kenapa bisa habis segitu. 

24 Juli 2015

Bangun dari tidur di hari baru otakku masih kepikiran makan di angkringan yang mahal itu... Tapi gimana yah, sudah jadi daging di perut ini. :---|

Hari ini rencana aku adalah pergi ke Museum Sisa Hartaku. Jeng jeng! Oiya, semua perjalanan ini kulakukan sendirian karena The Lely cuma memberi tumpangan tidur. Paginya sementara aku jalan-jalan, dia kerja. Mihihihi.

Setelah banyak mencari museum-museum yang menarik di Jogja lewat internet, nemulah aku Museum Sisa Hartaku ini. Kalau kata internet meseum tersebut isinya adalah yang tersisa dari letusan Gunung Merapi. Letaknya di utara entah di mana pokoknya utara. Cuma sepertinja aku salah mengartikan nama museum ini. Jadinya rencananya kesana tapi akunya ternyata nggak kesana.

"Lah, Git?"

Kubilang ke The Lely bahwa aku kepingin ke Museum Merapi. Aku nggak bilang mau ke Museum Sisa Hartaku. Yah aku kira sama aja. Nah ternyata beda loh.
Perjalanan ke Museum Merapi dari Kaliurang dimulai dengan menebeng ke teman sekosan The Lely sampai pasar apa gitu namanya lupa deh. Menurut kakak yang nebengin itu dia cuma bisa nebengin sampe deket pasar situ aja. Seterusnya entah gimana, nasibku yang membawa.
Sesampainya di pertigaan-akan-ke-pasar, aku diturunkan oleh kakak yang nebengin tersebut. Aku sarapan dahulu di warteg dekat situ. Sungguh senang sarapan di warteg dengan harga normal ga kaya Jakarta. Setelah bayar sarapan, kucoba tanya ke ibu yang punya warteg adakah angkot ke Museum Merapi. Kata ibu warteg kaga ada sih kalau angkot, paling ojek doang. Kebetulan anaknya tukang ojek. HAHA! Pulang pergi pakai ojek deh aku akhirnya, berangkat dan pulang Rp15.000,00. Kata ibu warteg sih sudah murah segitu, tapi entahlah. Aku gak sempat cek ke ojekan yang lain jadi percaya saja.

Tampak halaman depan Museum Gunung Merapi

Jarak dari warteg ke Museum Merapi rasanya nggak gitu jauh, sepertinja hanya empat sampai lima kilometer. Jalannya sepi dan naik. Naik naik ke puncak gunung lalala~
Museum Merapi buka mulai pukul 8 pagi, pas banget pas aku datang. Aku juga adalah pengunjung pertama untuk hari itu. Hohoho. Tapi sampai di sana aku bingung deh, ini bener ya Museum Sisa Hartaku? Ko ga berdebu seperti fotonya yang di internet?

Erupsi-erupsi Gunung Merapi dari berbagai tahun

Museum Merapi dapat dimasuki dengan membayar tiket sebesar Rp5.000,00. Memasuki museum seperti masuk kelas geografi karena di museum tersebut menceritakan tentang apapun yag berkaitan dengan gunung merapi mulai dari:
1. Pertama terbentuknya daratan
2. Cara kerja seismograf
3. Kenapa ada letusan sampai dengan cerita tentang gunung berapi di seluruh dunia dan Indonesia
4. Letusan-letusan paling menggemparkan
5. Batuan-batuan yang terbentuk dari letusan gunung berapi
6. Tips-tips kalau mau ada letusan dan pas letusan
7. Asal usul suku Tengger (berasal dari Rara Anteng dan Joko Seger, inget banget deh fwihihi)
8. Tentunya karena museum ini di Jogja ada bahasan khusus untuk Gunung Merapi yang di Jogjakarta. Banyak banget foto-foto tentangnya, bahkan juga ada loh piring-piring berdebu sebagai saksi bisu letusan. WE O WE!
9. Banyak hal lainnya yang terlupakan sama otakku :___P

Model letusan Gunung Merapi yang paling "wow"

Museum ini terdiri atas dua lantai dengan bangunan yang luas banget. Enak buat lari-lari hahaha. Dindingnya didominasi warna putih. Waktu aku kesana bareng sama anak-anak SD gitu dan tentunya para bule. Aku doang yang jalan sendirian...

Keluar dari museum sambil menunggu abang ojek menjemput aku tanya-tanya ke pak satpam tentang museum ini. Kenapa yah kok gak sama kaya di internet? Baru tahulah aku ternyata museum yang kumaksud itu bukan yang ini. Museum Merapi ya Merapi. Museum Sisa Hartaku ya Sisa Hartaku, itu malah lebih jauh lagi. Yeeehhhhhhh.

Setelah diantar pak ojek kembali ke warteg, aku turun menuju selatan naik satu-satunya angkot yaitu kol (yang dulu jaman SD buat antar jemput itu loh~) warna hitam. Ini angkot sepi banget asli deh, sepanjang perjalanan cuma aku doang yang naik. Eh ada ding satu lagi. Satu doang tapi-_-
Tak lama setelahnya (sejam sih) abang sopir kol nurunin kami di halte Trans Jogja dekat UGM kemudian beliaunya puter balik. Harusnya setahuku ini kol bermuara di Mirota Kampus, tapi mungkin karena sepi yah jadinya puter balik.

Selanjutnya perjalanan kulanjutkan makin ke selatan. Aku pengen BHanget ke Istana Air Tamansari. Perjalanan ke sana bisa ditempuh dengan naik Trans Jogja dari tempatku diturunkan, lalu turun di halte terdekat (lihat peta atau tanya kondektur biar ga kebablasan). Tetapi aku kelewatan beberapa halte turunnya. Sebut saja kesasar. Eh untungnya nyasarnya deket sama museum. Jadilah ke museum itu dulu, hihihi. Namanya Museum Perjuangan.

Berbagai cara dapat dilakukan untuk berjuang membela negara; salah satunya adalah melalui seni puisi, lagu, dan lain-lain

Museum Perjuangan terletak di Jalan Kolonel Sugiono. Museum terdiri atas dua lantai: atas sama bawah. Lantai atas isinya tentang berdirinya museum, kisah para pahlawan, ada juga tentang Pramuka. Lantai bawahnya alias lantai kedua isinya kebanyakan tentang Tentara Pelajar Indonesia. Baru tahu di sini loh aku ada ternyata dulu ada ya tentara pelajar gitu.
Museum yang satu ini buatku cukup sepi dibandingkan museum yang lain. Saat akan masuk aja pintunya dikunci ama satpam, kirain tutup. Ternyata buka! Entah apa yang membuat museum ini sepi, meskipun umunya museum emang gak ramai ya. Bisa jadi karena tempatnya yang jauh dari tempat ramai. Bisa jadi bisa jadi.

Puas mempelajari sejarah di Museum Perjuangan, perjalanan dilanjutkan ke tujuan awal yaitu Istana Air Tamansari. Aku sampai Tamansari sekitar jam 3. Tapi ternyata terlalu sore yah ke Tamansari jam segitu. Aku kurang begitu jelas mendengar, tetapi istana air Tamansari tuh udah tutup sejak jam 2 siang, yang masih buka cuma masjid bawah tanahnya. Tapi kenyataannya aku masih dapat tuh karcisnya. Memang sih pas masuk kayanya lintasannya pendek banget dan air mancurnya juga gak nyala.  Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaah sayang bangeettttttttttttt!

Entah bagian mananya Tamansari

Sekitaran Tamansari ada juga kampung cyber yaitu sebuah kampung yang terkenal canggih dan sadar teknologi, katanya~ Menarik banget untuk dikelilingin, aku pun pingin sekali kelilingin itu kampung cyber. Tapi berhubung sudah sore, pun sudah berkurang juga pengunjungnya aku jadi gimana gitu mau jalan keliling-keliling sendirian.

Lapar setelah seharian jalan melulu, selanjutnya aku berencana makan dahulu di mie Pak Pele. Sebelum berangkat ke Jogja aku dapat info dari ibu bos di kantor lama bahwa ada warung tenda mie di Alun-alun yang enak banget murah pula. Tapi ibu bos ga lengkap ngomongnya Pak Pele itu di altar (alun-alun utara) atau di alkid (alun-alun kidul). Menurut pendapat The Lely mungkin di alkid, karena alkid biasanya lebih ramai dari altar. Aku bawa peta dan suka banget nanya-nanya ke orang di pinggir jalan, karena Jogja tuh ramah banget orangnya. Bermodalkan dua hal tersebut, aku jalan kaki dari Tamansari ke alkid.
Gak jauh juga ternyata dari Tamansari ke alkid, sebentar saja sudah sampai aku di sana. Ramai banget, ada sepeda cinta, ada juga orang jual makanan ringan semacam cilok dan lainnya apaan lupa. Tapi aku ga beli satupun lantaran takut kaget sama harganya.
Berputar ke seluruh penjuru alkid ga nemu juga sama Pak Pele, kuputuskan bertanya sama abang sepeda cinta. Ternyata adanya di altar! Weleh-weleh. Lalu kesanalah aku dengan berjalan kaki ke arah utara melewati Jalan P. Mangkurat dan sentra gudeg Wijilan. Sudah sangat sore waktu aku berjalan ke altar itu~

Berjajar bakul gudeg di Jalan Widjilan

Makan di Pak Pele adalah makan di pinggir lapangan, remang-remangan cuma disinari cahaya bulan, dihibur sama pantomim, dan bersama The Lely yang sepulang kerja langsung menyusulku ke altar. Pak Pele ini jualnya nasi goreng dan mie gitu. Enak sih, begitu aku coba. Tapi aku pernah makan kaya ginian di Batu. Jadi kurang surprised. Hahaha.

Kurang terpuaskan dengan Pak Pele aku dan The Lely mencoba yang sekiranya bikin surprised, yaitu oseng mercon. Yuhuuuuu makan terooooooosss~
Oseng mercon ini terletak di Jalan K.H. Ahmad Dahlan kalau tidak salah, kanan jalan kalau gas dari Malioboro. Ramai banget banget banget, pokoknya kalau ada mbak-mbak yang mau gas langsung pepet aja deh biar tempatnya seketika jadi milikmu!
Seporsi nasi panas harganya Rp3000,00 dan seporsi oseng mercon Rp15.000,00. Oseng merconnya bisa pilih mau koyoran sapi atau daging sapi. Harganya sih sama, karena itulah aku pilih daging aja! Menurut aku rasanya enak banget pedasnya juga dapet, tapi bisa lebih baik kalau nggak pakai gula masaknya (aku ga suka masak dan makan makanan yang pakai gula, jadi kalau ada masakan yang pakai gula jadi bisa mendeteksi -_-')

Ibu bakul oseng mercon lagi ngitung duit

"Git koyoran sapi teh naon?"

Kurang paham aku apaan tuh koyoran sapi, sepertinja sih masih tetangga dekat sama kikil sapi karena rasanya sama-sama ginjur-ginjur gitu. Hiiiiiii. Kalau geli pilih daging aja deh.

25 Juli 2015

Hari ini rencananya aku pengen banget ke pantai di Gunung Kidul. Gunung Kidul menurut internet punya banyak pantai yang keren-keren, gak kalah sama (yang terkenal kan) Bali atau Lombok.

"Sendirian aja, Git?"
"Y."

Aku udah cari tahu angkot kesana apaan. Pokoknya tinggal gas ajah!

Akan tetapi saat azan subuh berkumandang, rasanya ini badan kok goyang-goyang yah? Lebih daripada itu, tiba-tiba seorang teman kos The Lely berteriak-teriak, "TEMAN TEMAN ADA GEMPAAAAA! TEMAN TEMAN ADA GEMPAAAAA!" Ada lima kali dia teriak gitu, sampai aku betulan bangun dan loncat sampai bordes tangga. Gile!

Lindu, dalam bahasa Jawa, adalah gempa kecil dalam bahasa Indonesia. Karena merasakannya pagi itulah, terpaksa kuputuskan buat gak jadi aja deh ke pantainya. Gawat juga kalau keseret Tsunami, masih pengen aku ketemu bapak ibu. Ngeri. Hahaha.

Tujuan awal aku adalah Benteng Vredeburg. Aku meskipun eneg sama sejarah, tapi ngerasa senang aja sama museum-museum begini. Selain dioramanya, buat aku museum tuh selalu kelihatan kecil. Tapi jalannya serasa panjang banget, suka ga nyampe-nyampe! Haha.

Halaman dalam Vredeburg tampak dari atas benteng keluar 

Kaliurang menuju selatan, tepatnya benteng Vredeburg, dapat ditempuh sekali angkut dengan bus Trans Jogja. Tiket masuknya murah banget banget, hanya Rp2000,00 per jiwa! Benteng yang dijadikan museum ini mengabadikan kisah tentang perjuangan bangsa Indonesia sejak dijajah Belanda sampai dengan merdeka. Buat aku, bangunan benteng ini sendiri menarik banget karena hampir-hampus simetris. Di dalamnya pun ketika kita memasuki gerbang, kita bukan langsung masuk ke bangunannya. Tetapi kita seperti masuk ke suatu sekolah, yang bangunannya ada beberapa dan di tengahnya ada lapangan buat lari-lari. Ada juga abang-abang yang menyewakan sepeda pancal. Asik pokoknya. Hihihi.

Selayaknya museum, benteng Vredeburg terdiri atas beberapa ruang yaitu diorama, ruang pemutaran film, dan ada cafe-nya juga. Dioramanya terdiri atas beberapa bangunan yang terpisah. Museum ini juga banyak menampilkan kutipan-kutipan dari para pejuang kemerdekaan. Kan anak sekarang pada doyan sama quotes gitu deh, heuheuheu.


Kata yang terabadikan

Kalau kita berjalan lurus dari gerbang depan benteng sampai gerbang keluarnya, kita akan menemukan jalan tembusan menuju rumah pintar. Rumah pintar ini buat aku punya nama lain, yaitu Taman Fisika atau Gubuk Jenius juga boleh. Aku sih nggak berminat untuk masuk karena tiketnya cukup mahal (dibanding tempat yang kukunjungi sebelumnya), Rp10.000,00. Meski gak masuk ke dalamnya, tapi aku sudah cukup mendapat gambaran dari area yang ada di depannya rumah pintar. Mainannya aja katrol, teropong, air mancur satu sisi dirancang dengan velocity dan distance tertentu (sotoy!) sehingga yang lewat di bawahnya ga kebasahan, dan mainan lain yang sederhana tapi bikin mikir. Nah cocok kan diganti nama jadi Gubuk Jenius?

Kasihan banget si kerudung merah selfie sendirian

Aku pilih museum lagi untuk tujuanku selanjutnya. Berdasarkan peta yang terjatuh di dekat rel, di dekat altar ada Museum Negeri Sonobudoyo. Gila ya namanya, pake "o" semua, jadi agak susah ngomongnyo! Hohoho.

Mainan tradisional diabadikan di sini keren parahhhh

Tiket masuk ke Museum Negeri Sonobudoyo dapat diperoleh dengan membayar Rp3000,00 sadja. Tidak seperti museum yang aku kunjungi sebelumnya yang banyakan sejarah perjuangan Indonesianya, museum ini banyak menyimpan arca dan segala macam budaya Indonesia. Mulai dari batik daerah, senjata, rumah daerah, sampai mainan tradisional Indonesia juga ada. Berkunjung ke museum ini saat awal masuk kita akan ditawari satu hal: mau jalan sendiri atau butuh pemandu? Aku sih pilih sendir aja deh, lantaran sudah terlalu asik sendiri~

Berjajar arca di Museum Negeri Sonobudoyo

Arca yang ada di museum ini berada di samping kiri dan kanan depan museum. Aku nggak paham kenapa arca paling banyak itu Ganesha, dewa segala ilmu. Maksudku, kenapa begitu banyak patung tentangnya?
Tetapi dari sekian banyak arca aku gak menemukan satupun arca Raja Brawijaya. Sebagai lulusan Universitas Brawijaya aku penasaran, apakah ada arca tentang dia? Selama ini aku hanya melihat Brawijaya di jas almamater dan sampul skripsi, bosan. Aku pingin lihat Brawijaya di wujudnya yang lebih abadi, jadi batu. Tapi gak ada. Apa salah ya mencari arca Brawijaya? Aku sudah lupa sama pelajaran IPS SD yang selalu bahas arca, apa dan siapa saja sih yang dijadikan arca memangnya?

"Ko ga nanya sama petugasnya, Gita?"
"Iye lupa, gak kepikiran. Haha."

Keluar dari Museum Negeri Sonobudoyo, tidak jauh dari situ dan masih juga di sekitaran altar, ada Masjid Agung. Sebagai muslimah yang sehat aku merasa pingin banget masuk kesana sekedar untuk melihat seperti apa sih Masjid Agung punya Jogjakarta. Seharusnya istimewa yah, karena lokasinya aja dekat keraton. 

Fasad Masjid Agung

Satu hal yang aku sadari begitu masuk ke Masjid Agung: ternyata aku singgah di masjid ini bukan untuk pertama kalinya, dulu pas SD ada widya wisata dan sholat Magribnya di sini. Hihihi. Tetapi waktu melihat interiornya aku terpana seakan baru pertama kali melihatnya. Masjid Agung ini memang istimewa banget. Aku bukan komentator yang baik soal interior, aku juga nggak bisa mendiskripsikan bagaimana istimewanya masjid itu. Tapi pantas banget kenapa dinamakan Masjid Agung. Udah gitu teduh dan adem banget di terasnyaaaaaa ;-)

Anti gempa

Cukup lama aku berdiam di masjid, ada kali setengah jam cengo doang. Sementara di teras masjid adem banget, di luarnya panas kenthang-kenthang. Banyak banget orang (sepertinja musafir) yang tiduran di teras masjid. Aku pengen ngikut, tapi aneh sih pastinya kan aku sendirian hwehehehe. Kuputuskan untuk lanjutkan perjalanan saja.

Destinasi selanjutnya adalah Bakpia 25, mau beli oleh-oleh! Kalau kata The Lely, bakpia yang lagi hits sekarang adalah Kurnia Sari, Raminten, atau Bakpiapia. Bakpia 25 sudah uzur.

"Wow iya gitu, Git?"

Mayoritas boleh saja berpendapat begitu, tapi aku sih gak bisa percaya begitu saja karena bagi aku makanan selalu masalah selera. Nyatanya pas aku ke sana dan mencoba tester-nya, lezatnya bakpia 25 tetap bikin aku melayang sampai ke awan. Kyaaaaaaa~

Menuju Bakpia 25 bisa diantar becak, ojek, atau jalan kaki. Karena aku suka jalan, aku pilih jalan kaki. Alhamdulillah ternyata kalau ke Bakpia 25 jalan kaki dapet potongan harga (lupa berapanya, kalau nggak Rp20.000,00 ya Rp25.000,00), lumayan kaannn gantinya capek jalannnn hahahha. Kemudian dari Bakpia aku isi perut ke House of Raminten pakai Trans Jogja. Ini adalah pertama kalinya aku ke House of Raminten, dan bolehlah aku teriak ke seluruh penjuru Indonesia bahwa: Aku suka banget makan di House of Raminten!! AUMMMM  Bukan hanya karena makanannya yang murah (mengingat tempatnya sebagus ini), tapi mas-mas pelayannya juga ramah bangeeeet ya pada umumnya orang Jogja memang ramah sih hoho. Gak peduli kata orang mereka maho atau apa, tapi keramahan dan pelayanan mereka membuat nyaman karena aku makan di sana kan sendirian ;___(((. Kekecewaanku terhadap nasi kucing di angkringan terbang sudah dengan makan di House of Raminten. Ahzeggggg~

26 Juli 2015

Antara sedih dan senang balik ke Jakarta, meskipun banyak sedihnya. Gimana ga sedih, di Jogja jalan-jalan doang sedangkan di Jakarta kerja? Hahaha. Tapi hari ini, hari balik ke Jakarta, datang juga. Tiket pesawat sudah di tangan, tinggal berangkatnya aja. Nnngggggggggg 

Akses ke bandara Jogjakarta Adi Sucipto tidaklah sulit nan ribet, seperti kota-kota lainnya. Maksudku ada angkutan umum ke sana di luar taksi yang harganya bisa jadi mahal. Angkutan umum tersebut adalah Trans Jogja jalur 3B. Turunnya pun dekat sekali dengan gerbang keberangkatan.

Berjuta Terima Kasih

Berbicara mengenai Trans Jogja, adalah tentang rasa terima kasih yang nggak ngerti harus kuungkap kemana. Trans Jogja adalah cara dan pesona dari Jogjakarta itu sendiri memperlakukan turis-turisnya. Nggak ada satu tempat kunjungan wisata pun yang nggak dilewati Trans Jogja. Ya paling tidak kalau nggak turun di depannya tinggal dikit lagilah sampai te-ka-pe. Bahkan seperti yang kubilang sebelumnya, ke bandara pun kita bisa diantar oleh Trans Jogja! Aku merasa sangat terbantu untuk bepergian kemana saja menggunakan Trans Jogja ketika itu. Bagaimana jadinya tanpa Trans Jogja, aku ga bisa bayangkan pastinya anggaran akan sangat membengkak hanya untuk biaya transportasi. Misal, hanya ada taksi atau ojek di sana. Apalagi Trans Jogja bisa pakai kartu flazz sama seperti di Trans Jakarta. Sungguh terima kasih tak bertepi buat Trans Jogja, berikut para penjaga halte, sopir, dan kondektur yang hafal rute setiap jalur. Untuk hati kalian yang begitu tulus bekerja untuk Trans Jogja, memandu, dan menemani para penumpang, sukses teruslah. 



Rute bus Trans Jogja

Selain terbantu akan adanya Trans Jogja, perjalanan aku kali ini juga amat terbantu karena adanya peta Jogjakarta. Peta ini aku nggak tahu ya bisa diambil di mana sebetulnya dan entah gratis atau berbayar. Aku sih dapatnya nemu di jalan dekat rel. #rejekianaksolehah
Buat aku peta akan lebih banyak menggambarkan banyak lokasi ketika kamu nggak tahu mau kemana, disitulah bedanya dengan GPS. GPS akan lebih baik digunakan jika kamu sudah tahu mau kemana. Banyak-banyak terima kasih untuk entah siapa yang menjatuhkan peta tersebut, sengaja ataupun tidak sengaja, peta Jogjamu adalah penyelamat dan inspirasiku.   Masih disimpan looh sampai sekarang.

Peta Jogjakarta ini jadi hitam putih karena adanya scanner-nya hitam putih 


(masih ada jilid II)