Friday 28 November 2014

Cerita dari Hujan

(1) Sore tadi adalah sore yang basah, setelah sekian lama kotaku panas dan kering. Air hujan turun di kota Malang cukup deras. Memang nggak semua tempat yang deras, kalau tidak salah baru di Jalan Ijen sampai rumah (Kotalama) saja. Hujan turun sekitar pukul 17.00. Pas banget aku nggak bawa jas hujan, jadilah basah sampai rumah. Basahnya parah, pahaku sampai kaya bisa diperas gitu. Hahaha -_-' 

(2)
tempat ter-ahzeeeggg
Rumahku adalah model rumah tua, bangunan sangat panjang, langit-langit tinggi, tapi nggak tingkat. Sedih banget ya, padahal rumah yang tingkat punya titik terbaik buat kita para manusia bertinggi badan rendah buat menikmati kota dari ketinggian. Atau sekedar merasakan matahari dalam posisi lebih dekat. Biasanya kalau di film-film di terasnya yang terbuka. 

hujan turunnya disitu tuh

Tapi rumahku punya halaman belakang yang aku baru sadari beberapa bulan lalu bisa juga dijadikan sebagai tempat terasyik, tempat nonton hujan. Atau kalau masih mendung, tempat menatap awan-awan lucu yang gosong. Haha. Tempat itu ada di halaman belakang dekat jemuran-jemuran berdiri seumur hidupnya. Biasanya aku sengaja parkir motor disitu, supaya pas lihatin hujannya aku bisa sambil tiduran. Kadang motor juga dipakai supaya ada meja aja buat naruh gorengan, susu, atau air putih. Jadi nonton hujannya nggak sendirian. :D

Ini tempat favorit kedua setelah kamarku. 


(3) Banyak orang kesal sama hujan. Tapi banyak juga yang bersyukur. Biasanya mereka yang bersyukur ini yang tahu bahwa di setiap kedatangannya, hujan bukan cuma menurunkan air tapi juga melemparkan seratus ribu bintang ke langit gelap saat dia pergi. Bisa pas malam, atau pas subuh. Malah kalau hujan sedang baik suasana hatinya, dia akan mengutus bulan buat menggandeng tangan kita. Hanya supaya kita nggak merasa gelap dan kesepian. 

(4) Dulu banget pas SMP, aku pernah patah hati. Buat yang pertama kali tuh huakakaka. Ah iya tapi seriusan, itu sedih banget. Pertama kalinya merasakan kekecewaan dan penyesalan. Ajaibnya, pas turun dari angkot aku disambut hujan. Jadilah aku kehujanan. Gak ada payung atau jas hujan, cuma bisa menunduk suapaya pengelihatan masih jelas. Tapi bukannya merasa kesal atau sial karena kehujanan pas patah hati, aku malah merasa nyaman banget. Seperti ada teman baik yang merangkul pundakku sambil mengatakan kalimat yang menenangkan.

Dan begitulah, mulai saat itu sampai sekarang hingga seterusnya pertemananku sama hujan terus terjalin.

(5) Aku pingin naik gunung, aku pingin melihat matahari terbit dan tenggelam seperti mereka-mereka yang selalu memiliki jalan mendaki. Aku juga pingin tahu, di puncak gunung itu ada hujan gak sih? Soalnya kalau lihat foto-foto para pendaki gunung mereka seperti berjalan di atas awan. Sementara, hujan kan turunnya dari awan gitu. Nah lo? Makanya itu penasaran! Haha. 

Tapi aku mau naik sama siapa coba. Aku gak ikut klub apapun dimanapun yang suka naik gunung. Orang tua aku juga bukan pendaki gunung. Jadi? Jalan satu-satunya adalah nanti perginya dengan suami tercinta. AMIN AH AMIN. 

Gita Berpendapat...
Kalau hujan memang ada di puncak gunung. Kalau mendung bakal sering menggelayuti langit negeri kita akibat climate change. Sehingga beberapa kali para pendaki gunung yang sudah susah payah mendaki, setelah sampai di puncak nggak terbayar dengan sunrise yang indah, tolong jangan sedih. Karena mungkin dibalik mendung dan hujan yang turun memang ada yang berharap sunrise itu tidak datang saat itu untukmu. Mungkin dari suami/istri kamu-kamu kelak yang sama sekali belum pernah melihat sunrise dengan siapapun. Harapannya, mendung akan menunda satu sunrise itu. Sunrise terbaik agar kelak bisa menjadi yang pertama - dalam bersama.

Sunday 2 November 2014

Wanderer Wannabe




Sekitar penghujung tahun lalu aku teringat apa yang diucapkan pak rektor atau siapapun yang menyambutku waktu maba dulu di tahun pertama, satu ucapannya yang kuingat: "...Universitas Brawijaya adalah kampus dengan jumlah keberagaman mahasiswa yang paling tinggi..." Semakin bertambah semester aku semakin kenal dengan teman seangkatanku di jurusan, akupun semakin tahu bahwa memang benar apa yang dimaksudkan di pidato tersebut. Manusia dari Sabang sampai Merauke ada semua disini, jumlahnya memang hanya satu dua masing-masing jurusan tapi kalau dikumpulkan se-UB lumayan juga. Mau cari anak Aceh, ada. Sulawesi, ada juga. Kalimantan, banyak banget. Papua, ada dan semakin bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun. Aku kurang mengerti sih di tempat lain seperti apa hanya saja "keberagaman mahasiswa yang paling tinggi" bolehlah jadi kebanggaan, entah memang tertinggi atau nggak ya percaya ajalah sama rektor. Haha.

Artinya meskipun kampus ini bukanlah yang terbaik di seluruh Indonesia tapi kampus ini sudah seperti Indonesia itu sendiri, beragam. Buatku, yang selama ini cuma bisa belajar tentang Indonesia secara fisik dan apapun di dalamnya lewat buku dan cerita guru sungguh suatu kebanggaan bisa bersalaman langsung dengan orang batak, orang sunda ataupun orang dayak. Bercanda dengan mereka. Ngobrol akrab dengan mereka. Mendengarkan mereka bicara dengan logat mereka. Tahu langsung dari cerita-cerita mereka seperti apa kebiasaan mereka budaya mereka sehari-harinya. Kalau selama ini aku hanya tahu pulau Sulawesi wujudnya gitu aja dari atlas, aku bisa tahu di sana ada apanya sih. Apa benar disana itu begini. Apa benar disana begitu.

* * *

Kelulusan adalah hal paling membanggakan dalam perkuliahan. Iya, bukan tentang berhasil lolos masuknya tapi bisa nggak keluar lulusnya. Setelah berhasil keluar kita dihadapkan pada tanggung jawab untuk kemana setelah ini. Sejak bulan Juli lalu kelulusan sudah kupegang, harapan terbesarku pokoknya jangan sampailah aku menganggur seharipun. Alhamdulillah keturutan. Harapan lainnya yang tidak kalah penting adalah jangan sampailah berada di Kota Malang terus. Alhamdulillah sedang merintis supaya bisa terwujud, haha.

Begitu beragamnya teman-temanku di masa kuliah ini, membuatku berkaca. Umur kami relatif sama, tapi kok apa yang mereka tahu rasanya bisa lebih banyak dari aku ya? Pertama tentang asal mereka kedua tentang tempat mereka kuliah ini. Aku sih cuma tahu yang pertama, itupun bisa dikata setengah daerah saja. Mereka sudah melintasi separuh negeri hanya untuk menimba ilmu meluaskan wawasan dan pandangan, sedangkan aku? Aku sering berkata pada diri sendiri dan semua orang bahwa Indonesia bukan cuma Pulau Jawa, aku cinta Indonesia, aku cinta negeri ini, aku benci kalau ada kritikan rendah terdengar dengan embel-embel "..ya gitu emang, Indonesia...". Iyaaaa aku cinta negeri ini, tapi kenapa aku bisa berkata begitu ya? Kenapa aku bisa yakin cinta banget sama negeriku padahal aku sebenarnya tahu apa sih tentang negeri ini? Bukankah selama ini aku cuma bepergian belasan kilometer saja, dalam kota? Apa yang aku bisa ceritakan tentang dia kalau memang aku cinta negeri ini?

Hal itulah yang menjadikan aku pikiran, aku pingin seperti teman-temanku. Aku pingin merantau. Aku pingin seperti mereka. Lebih dari itu, aku pingin menjelajah. Aku ingin tahu, negeri seperti apa sih yang aku bilang aku cinta ini. Sudah cukuplah masa muda dihabiskan di kota, setiap hari yang terlihat cuma hutan beton dan asap-asap gelap kendaraan. Semoga belum terlambat. Setiap akhir minggu aku sudah coba untuk nggak berada di rumah. Seperti minggu lalu, Sabtunya di Bandung Minggu di Jogja. Minggu yang lalu juga aku ke Lamongan Sabtu dan Minggunya. Meskipun baru sebentar saja dan masih juga bertemu hutan beton, tapi paling tidak ini juga suatu perjalanan yang membawaku pada hal baru. Aku juga tersadar: ternyata negeri ini masih terlalu asing untuk kita jelajahi, jadi buat apa ke luar negeri?

Hari ini dan kemarin (Sabtu dan Minggu) aku ada di rumah, rasanya aneh banget. Seperti sudah lama nggak disini, jadi bingung harus ngaps. Biasanya di kota lain pasti ada yang dilakukan, atau nggak sedang di perjalanan. Tapi rasa inilah yang aku inginkan datang, rasa yang lain meskipun berada di kamar sendiri. Rasa terasing, rasa lupa harus apa. Suatu hari nanti aku ingin berada di kamarku sambil bilang "aku kangen kamar ini", setelah berlayar sampai ke ujung Timur Indonesia. Mendaki gunungnya, menyelam ke dalam lautannya. Merasakan sinar Matahari dari sudut lain, dari jarak yang lebih dekat. Mungkin sambil rindu rumah, hal yang nggak pernah kurasakan selama ini selama aku hidup di Malang saja. Iya, aku pingin tahu rasanya rindu rumah. Semoga, suatu hari nanti.

Aku ingin merantau, keluar dari zona nyaman ini
Aku ingin merantau, agar aku tahu artinya pulang 
Aku ingin merantau, melihat Indonesia lebih jauh dan lebih dekat
Mendaki gunung-Nya dan menyelami laut-Nya
Menempa diriku dengan jarak dan rindu
yang akan membuatku semakin tangguh dan kuat 
Aku ingin merantau, aku ingin merantau 
Melihat bagaimana dunia di luar sana berputar anggun
Memandangku, menyambutku

Mantep banget rambutnya, semoga suamiku ntar gitu juga haha asik