Sunday 12 November 2017

Menyeberang

"Hah kamu nggak bisa nyeberang, Git?" 
"Bukan aku sih, tapi temanku yang seumuran." 

Suatu sore kami janjian mau makan bareng. Saat itu aku sudah di seberang di jalur tempat kami janji ketemuan dan dia masih di jalur yang berlawanan. Aku yang perlu sholat dulu, kemudian menyeberang ke jalur tempat dia berada. Dengan jujur dia berkata kalau minta diseberangkan, karena dia katanya nggak bisa menyeberang. Aku kira ini lelucon, karena kan dia bisa nyetir mobil masa iya nyeberang nggak bisa? Tapi kata dia ini seriusan. 

***

Menyeberang dan naik angkutan kota/angkot, dua kegiatan yang biasa kita lakukan sehari-hari. Dalam artian kita biasa atau pernah melakukannya ya. Ini bukanlah suatu kegiatan yang luar biasa. Tapi kalau sudah seusia dua puluhan ke atas masih belum bisa melakukannya, ini luar biasakah? Sesungguhnya aku sih terkaget-kaget. Tanpa bermaksud meremehkan, karena kata beberapa teman pun aku juga kadang kalau nyeberang lama banget nunggu super sepi baru gas hahaha.

Aku tidak bisa membayangkan gimana perasaan orang tua aku dulu entah panik atau mix and match dengan khawatir, saat pertama kali melepas aku menyeberang seorang diri. Seperti yang kita tahu, nyeberang kan melewati kendaraan yang melaju dengan kecepatan tertentu, kita meskipun sudah hati-hati-hati, kadang si pengendaranya yang nggak hati-hati! Sudah melambaikan tangan atau berdiri di jalur yang tepat tetap saja nggak dikasih jalan. Menyeberang memang mengandung jutaan resiko, nyawa taruhannya. Tapi bukan tidak mungkin untuk diajarkan kepada anak kita kelak, karena tanpa menyeberang kita tidak berpindah kemanapun.  

Sunday 6 August 2017

In The Name of Edelweiss

Setelah gagal menyapa bunga edelweiss di Gunung Gede pada Desember 2016 lalu, kesempatan datang lagi di Gunung Papandayan. Aku pergi bertiga dengan teman kantorku namanya Aldo, dan Ka Ica, teman SMA-nya Aldo. Sebelum kuceritakan perjalanan kami bertiga, aku ingin ucapkan banyak banyak terima kasih sama dua anak Minang yang kusebut barusan. Segala salah dan ketololanku mohon dimaafkan yah kakak-kakak ^_^

***

Gunung Papandayan terletak di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Elevasi tertinggi yang tercatat adalah 2622 meter di atas permukaan laut. Pertimbangan kami untuk mendaki gunung ini adalah karena dekat dengan kota domisili (Jakarta), aku pribadi pun ingin banget banget banget ketemu bunga edelweiss. Kabarnya di sana ada suatu padang namanya Tegal Alun yang ditumbuhiiiiii edelweisssssssssss semua. Well, aku sebetulnya nggak ada alasan khusus kenapa ingin ketemu edelweiss. Penasaran aja, tapi juga nggak begitu sih, karena sudah kebayang di internet seperti apa wujudnya. Hanya saja berasa hutang aja sama diri sendiri kalau belum mendekatinya langsung.

Perjalanan kami dimulai dari Kuningan, Jakarta Selatan, pukul 20.10. Kami menuju Kampung Rambutan untuk mencari bus yang ke Garut. Kami masuk bus sekitar pukul 22.00, tapi itu bus baru jalan pukul 23.30an.  Sampe kering nunggunya! Ongkos bus per orang Rp52.000,00. 

Satu bus dengan kami banyak juga yang mau naik gunung, dengan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang ke Guntur dan ada juga yang ke Cikuray. Kami sampai di Terminal Guntur di Garut pukul 04.30 WIB. Langit yang masih gelap menyambut kami dengan gerimis dingin. 

Untuk mencapai Taman Wisata Alam Gunung Papandayan kita mesti naik angkot arah Cisurupan dari terminal Guntur. Ini angkot nunggu kuota penuh dulu baru berangkat, muatnya sekitar 14 orangan, per orang saat itu kena biaya Rp25.000,00. Kemarin aku juga ditarik lagi Rp5000,00 untuk ongkos naikin barang ke atas angkot. Lama perjalanan satu jam saja~~~ 
Dari pertigaan Cisurupan kami naik bak pick up untuk mencapai gerbang Papandayan bersama pendaki lain, per orang tarifnya Rp20.000,00. Sebetulnya angkot yang membawa kita dari terminal Guntur bisa saja dicarter sampai gerbang Papandayan. Bayarnya pun sama saja, nambah Rp20.000,00.
Perjalanan dari Cisurupan ke gerbang Papandayan berkisar 30 menit. Kami nggak banyak melihat pemandangan dari atas mobil pick up selama perjalanan karena masih gerimis, jadi semua penumpang bersama berlindung dibawah terpal yang bisa digulung-digelar hihi rasanya kaya kambing deh (-_-"). 
Masih di awal 
 Ongkos masuk TWA Papandayan per jiwa yang hidup Rp30.000,00. Itu belum termasuk dengan ongkos nge-camp, nambah Rp35.000,00 again

"Mahal amat, Git?"
"Iye be'eng!"

Setelah bersiap dengan jas hujan karena masih saja gerimis, perjalanan kami dimulai pukul 09.00. Track dimulai dengan jalan aspal, lalu berbatu kuning-kuning gitu (tipikal daerah berkawah), kemudian tanah. Ada juga jalanan yang sudah ditangga-tanggakan dengan batu-batu besar. Apa yang dikatakan banyak orang di dunia maya, tentang kemiringan jalan di Papandayan ini cukup ramah untuk pendaki pemula, benar adanya. Ya meskipun namanya naik gunung ya, pasti bikin payah juga pas naik haha apalagi ada bawaannya #curhat. Tapi cukup banyak juga bonus track-nya, cukup untuk mengembalikan stamina. Kalau aku sih suka banget sambil jalan itu ngisep Madurasa, rasanya manis bikin perjalanan jadi manis juga.  
Ghober Hoet diguyur hujan
Kami berencana berkemah di Pondok Saladah. Dari gerbang hingga Pondok Saladah kami melewati empat pos yaitu 6, lalu 7, 8, dan terakhir 9 atau Ghober Hoet. Di Ghober Hoet ini terdapat tiga warung. Aku, Ka Ica, dan Aldo beristirahat di salah satunya. Di warung ini ada banyak barang yang dijual, mulai dari gorengan, seblak (waahhhhh pengennnnn tapi takut mencret), kopi, sampai tali rafia. Gorengannya nggak mahal juga kok, Rp1000,00 harga satuannya, enak pula. Tehnya sih yang mahal, Rp5000,00. Saran aku kalau lewat Ghober Haut kudu mampir beli gorengan di sini.

"Git Git itu kok langsung pos 6 sih? Pos 1-nya yang mana?"

Nah untuk ini aku juga kurang paham, aku iyain aja dulu sih biar cepat. Sepertinya juga ada dua jalur untuk mencapai Pondok Saladah. Kalau tidak salah setelah pos 7 itu kita dihadapkan pada dua jalur, yang kanan (ini yg aku tempuh) lewat hutan gitu. Nah yang ke kiri itu lewat tangga batu, membawa kita langsung bertemu Hutan Mati. Lebih curam yang kiri ini. Tapi yang aku lihat kemarin papan penunjuk "JALUR PENDAKIAN" hanya ada satu yaitu yang mengarah ke kanan, jadi yaudah aku lewat kanan. 

Hanya 30 menit kami berjalan dari Ghober Hoet hingga Pondok Saladah, kami sampai pukul 12.30 siang. Langit masih suram dan hujan. Di Saladah kami diwajibkan lapor ke petugas sebelum mendirikan tenda. Ketika melapor kami diberi pasak yang ada nomornya, untuk dipasang di depan tenda. Kami dapat nomor 047. 
Menyikapi mendung 
Aku merasa pendakian kali ini siap banget. Seminggu sebelum naik aku udah lari kecil, senam lantai, dan lain-lain. Logistik kusiapkan yang paling baik. Tapi aku ternyata masih sesombong ini: aku gak bawa baju ganti (cuma dalaman doang). Pikirku, sebelum-sebelumnya aku bawa tapi ga kepakai. Nah ya ternyata di Papandayan ini gerimis seharian dong aaaaa -___-" Meskipun sudah pakai jas hujan ternyata masih basah juga. Kerilku lebih parah, kan tadi dinaikin di atapnya angkot jadi basah juga. Aku memang belum punya raincover, tapi salahku juga aku nggak memasukkan semua bawaan dalam plastik sebelum masuk keril (biasanya plastiknya yang hitam seperti buat ngangkut sampah itu loh). Untung masih bawa, tapi iya lupa gitu ga kupakai buat membungkus barang. Akibatnya sleeping bag, kaos kaki, slayer, pada basah semua. Sedihlah.
Memang betul orang bilang. Naik gunung itu ga boleh somski a.k.a sombong. Siapkan untuk kondisi yang terburuk, karena kita nggak pernah tau apa yang akan terjadi. Yahhh, maafkan aku ya tas aku, kaos kaki aku, dan slayerku sayang. Selanjutnya aku nggak akan gini lagi koooook! Huhuuuu dinginnnn kaosnya basah. 

Karena gerimis masih hilang-ada-hilang-ada, tidak banyak yang kami bisa lakukan. Hanya mengobrol di tenda, makan, tidur, gitu aja sampai pagi hahaha.
Taken by Aldo
Minggu pagi kami sarapan mie pakai telor (udah dari lama pengen makan mie di gunung haha asik kesampaian!). Meski hujan telah reda, tapi di luar masih belum ada matahari. Aldo dengan kekuatan bersosialisasinya main ke tenda tetangga sebelah, diberi tahu kalau Saladah ini udah dekat banget sama padang edelweiss. Banget dekatnya, kepleset juga nyampe. Kami ke padang edelweiss dua kali, yang pertama pukul 8 pagi. Kami foto-foto, lalu balik tenda untuk beberes. Kemudian cuaca membaik, sudah ada matahari, kami balik lagi ke edelweiss 100 menit kemudian. Mantap jiwa! Warna pohon-pohon edelweiss jadi lebih keemasan karena ada matahari. Oh oh inikah kamu edelweiss akhinya kita bisa bertemuuuu~~~ 
Menuju Hutan Mati
Kami turun gunung mulai pukul 11.20 waktu setempat. Perjalanan turun ini akan melewati edelweiss lagi (yeay!), lalu Hutan Mati. Setengah jam saja dari Pondok Saladah kami sudah sampai di Hutan Mati, banyak orang udah di sana. Hutan Mati Papandayan kabarnya terbentuk karena erupsi pada tahun 2002. Semua pohonnya gelap batangnya, nggak ada yang berdaun satupun. Di latar belakangi gunung, beralaskan jutaan batuan kecil kekuningan, kontrasnya warna Hutan Mati membuatku ingat akan deskripsi wujud Putri Salju yang katanya "kulitnya putih merona (meski Hutan Mati ga merona ya) dan rambutnya sehitam kayu eboni".
Di tepian Hutan Mati kita juga bisa melihat salah satu kawahnya Papandayan. Well, kemarin sepanjang perjalanan naik kami ga bisa melihat pemandangan apapun karena gerimis. Bahkan di malam hari yang masih gerimis, ga bisa lihat bintang satupun. Ternyata saat cerah begini Papandayan indah banget.
Jalur turun kami beda banget dengan saat naik. Ini banyakan bertangga-tangganya. Ternyata tembusnya ya yang jalan bercabang setelah pos 7 yang aku ceritakan tadi.

"Git gak ke Tegal Alun?"
"Kami memutuskan nggak mencari Tegal Alun karena pemandangan edelweiss tadi pagi sudah cukup indah. Sebetulnya penasaran sih, tapi yaudah gitu aja."
"Atau jangan-jangan tempat edelweiss tadi Tegal Alun, Git?"
"Mungkin sih... Tapi kayanya bukan deh. Gak ada tulisannya. Sepertinya juga kurang besar kalau Tegal Alun mah. Tadi pas dari Saladah ke arah Hutan Mati ada papan penunjuk sih, mengarahkan ke kanan itu 'Tegal Alun' cuma ga jelas belok kanannya itu mana hahah jadi yaudah fokus ke Hutan Mati aja."
Di Hutan Mati lagi ada yang hidup
Untuk turun kembali ke kota kita pakai dua angkutan lagi, seperti saat naik. Pertama dengan mobil pick up, karena kami bertiga doang per orang jadinya Rp25.000,00. Turun kembali di pertigaan Cisurupan naik angkot Rp125.000,00 langsung jalan meski bertiga doang. Kalau ramean bisa lebih murah pastinja, cuma pas itu kami kayanya lupa ga nanyain harga dan baru tahu pas sampai Guntur. Yah yudah mau gimana ya~ 

Bus Primajasa kami berangkat ke Jakarta pukul 16.00 (pemberangkatan terakhir pukul 17.30). Lima setengah jam kemudian aku sampai di kamar kos. Ahhhh terima kasih Papandayan dan kawan-kawan, sampai ketemu di gunung selanjutnya ya!

Biaya Transportasi ke Papandayan

Rp52.000,00 Bus ke Garut
Rp25.000,00 Angkot ke Cisurupan
Rp5000,00 Ongkos angkut barang ke atas angkot
Rp20.000,00 Pick up ke Papandayan
Rp65.000,00 Ongkos masuk dan kemah di Papandayan
Rp25.000,00 Pick up ke Cisurupan
Rp41.666,67 Angkot ke Guntur
Rp52.000 bus ke Jakarta

Rp285.666,67 TOTAL


P & K
1. Banyak bak sampah di Papandayan, jadi terkutuklah kalian yang masih buang sampah sembarangan.
2. Banyak juga kamar mandi di Papandayan, manfaatkanlah untuk boker atau apapun tapi jangan lupa bayar ya 
3. Jangan songong kaya aku, persiapkanlah baju ganti. Masalahnya kalau baju basah kita pakai terus kemungkinan terburuknya adalah hipotermia. Untungnya ini Papandayan, sebelum masuk TWA masih ada jual kaos hihi. Jadi punya kaos Papandayan deh.
4. Bungkuslah isi keril dengan plastik untuk antisipasi kalau hujan, sehingga barang-barang di dalamnya tetap kering.
5. Papandayan bisa didaki dalam sehari. Banyak kok yang barengan sama kami naik siang sore udah mau balik.
6. Terima kasih lagi untuk Aldo dan Ka Ica atas kesabaran dan perkawanan kita ini. (ciaelah :D) Sampai ketemu lagi diiiiii mana aja boleh.
7. Terima kasih juga buat tetangga tenda, anak-anak PMI Jakarta Utara. Roti bakar dan coklat panas kalian enak banget asli -_-" manis banget semanis sambutan kalian ke kami heuheuheu maaf ga bisa ikut makan nasi liwet karena kenyang bangetttt semoga ketemu lagi 
8. Terpenting jadi yang terakhir terima kasih buat Allah karena sudah membawa aku kembali ke ketinggian itu. Ke tanah yang ditumbuhi edelweiss itu. Besok-besok mau lagi dong ya Allah~ 

OUR MOMENTS!
click to enlarge the photo

















Monday 27 March 2017

Berlibur ke Timur: Forget Jakarta (5/5)

#Matarammodeon

Saya dapat penerbangan siang menuju Jakarta dari Lombok, jam 12 siang waktu Indonesia bagian tengah. Perjalanan dari rumah Iik di Mataram ke LIA sekitar setengah jam saja. Oleh karenanya pagi hari kami masih bisa pergi cari oleh-oleh.
Saya suka buah tangan itu kaos dan gantungan kunci. Setahu saya kaos yang banyak dipakai orang kalau dari Lombok itu brand-nya Lombok Exotic kalau nggak Sasaku. Namun menurut Iik kedua tempat itu mahal. Lebih baik ke Pasar Cakra, dengan kualitas yang tidak jauh beda kita bisa dapat kaos yang lebih murah.
Suasana parkiran depan Pasar Cakra 
Saya beli kaos untuk oleh-oleh kedua kawan saya, namanya Aldo dan Adib, yang selalu setia menemani kerja lembur sampai malam. Benar saja kata Iik, meski ini pasar tapi kualitasnya lebih baik malah. Kaosnya tebal, gambarnya juga banyak macam. Satu kaos harganya Rp45.000,00 aja. Kalau yang lebih tipis (macam saringan tahu gitu deh) bisa lebih murah. Selain kaos saya membeli gantungan kunci berbentuk Pulau Lombok seharga Rp10.000,00 isi 4 biji.

"Git dengar Cakra kok saya jadi ingat Cakra Kahn ya?" 
"Hemmmm -________-"

Makanan oleh-oleh dari Lombok yang saya suka banget adalah dodol rumput lautnya. Biasanya yang saya tahu merknya adalah Phoenix. Saya sering makan itu dodol, oleh-oleh dari siapa gitu. Iiih alhamdulillah pagi itu saya beli sendiri dong hihihi asik. FYI saya beli dua bungkus. Niatnya satu untuk saya sendiri dan satunya untuk dibagi dengan teman kosan. Tapi...yah namanya juga doyan. Akhirnya saya makan sendiri itu dodol dua bungkus. Enak banget sih habisnyaaaa.
Banyak varian oleh-oleh di Phoenix
Semua oleh-oleh di Phoenx menarik, tetapi Iik paling merekomendasikan sambal encimnya. Kata Iik yang rasa original pedas banget. Ketika saya coba makan memang enak, harganya pun terjangkau hanya Rp15.000,00 sebotol kecil. Oiya Phoenix yang saya kunjungi ini berada di Jalan A. A. Gde Ngurah, masih di daerah Cakranegara. Telfonnya 0370-6611899/081907924109.

"Tumben infonya lengkap, Git?" 

Selesai dari Phoenix kami sarapan dulu pecel plecing. Iik juga yang merekomendasikan.

Dapur pecel plecing yang baru buka 
"Git di daerah mana itu?"
"Duh mana ya... Tunggu Iik tulis komen di bawah ya. Lupa hahaha" 

Mengingat saya suka pecel dan sangat memuja plecing, maka ke sanalah Iik mengajak saya sarapan pagi itu. sepiring Nasi Pecel harganya Rp10.000,00. Pakai lontong, tahu, dan plecing kangkung. Ennnak bhaanghet thau ngghaakkkkk. Kita juga bisa tambah sayap ayam bakar, satu tusuk gede ada 4 sayap ayam. Saya membaginya dengan Iik, saya makan dua dan Iik makan dua.

Ketika selesai makan di luar warung pecel sudah ada dua teman kerja seangkatan saya yang menunggu. Kebetulan mereka baru balik ke Lombok (kan habis libur panjang hihihi). Senang sekali ketemu mereka di luar jam kerja, perkenalkan namanya Windhu dan Epul.
Enaaaa sumpah enaaaaaa
Saya mendarat di Jakarta tepatnya di Bandar Udara Halim Perdana Kusumah. Rasanya 4 hari saya di Lombok saya lupa sama padatnya sebuah kota bernama Jakarta, karena meski panas dan gerah udaranya sama tetapi jalanannya kecil. Mengingatkan pada kota Malang dan Yogyakarta. Well, liburan tlah usai. Mari kembali ke rutinitas di human zoo. Tetap semangat!
Terima kasih Windhu (kiri) dan Epul (tengah) yang sangat antusias bertemu saya
P & K
1. Belum selesai perjalanan ini, ke Lombok ini. Saya belum ke Tiu Teja, Air Terjun Benang Kelambu, Mangku Sakti, dan air terjun lainnya. Ah ya dan tentu saja gunungnya, saya ingin banget berada di 3762 dari atas permukaan laut: Puncak Gunung Rinjani. Semogaaaaaaa aaaaaaah amiiiiiin.
2. Kalau dipikir-pikir Lombok ini kaya Malang yah. Gunung ada, pantai juga banyak. Saya begitu mengindahkan Lombok sampai lupa sama kota saya, Malang, yang padahal sama indahnya. Yahhhhhh maafkan aku kota Malang, kok saya kudu jauh darimu dulu buat menyadari keindahanmu ya? Ntar kalau lagi balik Malang ke pantainya ah~
3. Kalau ada yang bilang: "Jangan ke Lombok nanti nggak mau pulang." Percayalah itu benar adanya kalau kalian ke sana main-main terus. Kalau kerja beda cerita kali ya? Hahahha.
4. Terima kasih lagi sekali lagi dan dua kali lagi dan entah untuk ke berapa kalinya buat Iik terutama, bapaknya Iik, Mita, Mba Lita, Mas Ben dan Mba Westri. Untuk Epul dan Windhu juga. Terima kasih buat waktunya. Bisakah aku balas kebaikan kalian dengan waktu juga?

#Matarammodeoff