Wednesday 14 October 2015

Jogja Sendiri (2/2)

(terusan dari jilid I)

Ringkasan tulisan pendahulunya: Gita menghabiskan Kamis. Jumat, Sabtu, dan sedikit Minggunya di kota Jogjakarta. Perjalanan kembali ke Jakarta ditempuhnya menggunakan pesawat, bertolak dari Bandara Adi Sucipto. Renungan saat perjalanan kembali itulah yang ada di jilid II ini.

***

Pesawat bertolak dari Bandar Udara Jogjakarta Adi Sucipto pada pukul 11.25 WIB. Ternyata aku duduk di lajur kanan paling pojok dekat jendela, meskipun sebelahku nggak ada jendela.

"Git, maksudnya?"
"Ya bukan yang pinggir dekat jalan, tapi yang dekat jendela. Tapi sialnya itu pas yang nggak ada jendelanya, kan ada tuh pas dekat sayap atau mana gitu lupa sih."

Padahal pemandangan dari atas pesawat yang paling bisa bikin aku betah di pesawat, awannya awannya! Cuma di pesawat aku bisa lihatin awan dari atas. Kan biasanya dari bawah. 

Nggak ada pilihan kegiatan lain selain lihatin kondisi di dalam pesawat, yang terdekat adalah dua kursi sebelahku. Merek sepertinja adalah sepasang suami istri muda, kelihatan dari merekanya yang masih nempeeeeeel banget macam double tip. Si istri di sebelahku pas dan si suami sebelahnya lagi di dekat jalan.
Saat akan take off, disitu drama dimulaiSi suami menengok ke arah si istri, kemudian mengulurkan tangan kanan dia dengan telapak hadap ke atas. Maksudnya jelas, dia minta si istri menggenggam tangannya. Si istri yang menangkap kode si suami melakukan hal tersebut. Dia memasukkan jarinya di sela-sela jari suaminya. Jadilah tangan mereka saling genggam selama take off.
Euh... kenapa aku bisa dapat duduk di sini yah.   #CiyeGitaPengenYah

Beberapa jam sebelumnya saat naik bus Trans Jogja menuju bandara, aku sempat barengan dengan sepasang bule laki dan perempuan asal Prancis. Mereka lagi bercakap sama mbak-mbak. Dari percakapan mereka aku jadi tahu bahwa mereka berdua doang lagi liburan di Jogja ini, baru dateng. Baru banget. Sebelumnya ini mereka dari Kalimantan. Sambil lihatin mereka aku bicara sama diriku sendiri dalam hati, "aku nyaman sih pergi sendiri. Tapi sepertinya lebih aman ya kalau pergi berdua?"

Dalam pesawat yang terus bergerak ke arah barat, aku jadi berpikiri tantang hal-hal semacam di atas. Otak ini banting setir dari pingin lihat awan dari atas menjadi kegelisahan yang tak menentu, semacam nyetir di permukaan aspal yang mulus tiba-tiba jadi nyetir excavator. Aih, kegelisahan? Ya sebut saja gitu dulu.
Aku terbiasa jalan sendiri, tapi di dalam hati kadang sepi juga rasanya. Pingin juga berjalan berdua dengan dia--belum tahu siapa, sementara sebut saja Travelmate of Mine. Mereka para bule dan si pasangan suami istri itu betul-betul bikin aku suram, sampai rasa sepi itu bangkit lagi. Aku jadi lupa sama kenyamananku berjalan sendiri.
Aku jadi kepingin jalan-jalan ke Jogja dengan Travelmate of Mine, kemana saja asalkan berdua. Boleh jadi Jogja adalah awal dari perjalanan-perjalanan lain. Selanjutnya Banda Naira. Selanjutnya Wamena. Selanjutnya Bukittinggi. Tanjung Puting. Solo. Nusa Lembangan. Pulau Komodo. Belitong. Palembang. Ujung Kulon. Riau. Mana lagi ya? Sulit menyebutkan semua tempat di Indonesia satu persatu, tapi yang penting rinduku sudah kuletakkan di setiap sudutnya sebagai penanda sehingga nggak akan ada yang terlewat.
Lalu kami nggak hanya akan berjalan di bawah awan kota-kota itu, kami juga mau berjalan di atas awannya. Ke puncak-puncak gunung tertinggi, yang selama ini cuma bisa aku daki sendiri di riak angan-angan, yang selama ini cuma bisa aku pandangi kemisteriusannya dari tengah jalan raya. Hingga kami merasa harus belajar kembali kepada kerendah hatian, maka kami memutuskan berjalan ke pantai. Juga menyelam jauh ke dalamnya lautan Indonesia.
Perjalanan itu nggak akan berhenti, kami terus berpindah meski cuma selangkah. Kecuali ujungnya sudah kami raih bersama: Surga-Nya.

Mungkin nanti kami akan sering naik pesawat, tapi kalau memungkin naik kereta api akan kami pilih kereta api. Kemudian waktu matahari hampir terbenam-benam, Travelmate of Mine menengok ke arahku, kemudian mengulurkan tangan kanan dia dengan telapak hadap ke atas. Maksudnya jelas, dia minta aku menggenggam tangannya. Aku yang menangkap kode Travelmate of Mine melakukan hal tersebut. Aku memasukkan jariku di sela-sela jarinya. Jadilah tangan kami saling genggam selama perjalanan.


Secepatnya dialah 'bersama-sama' itu

6 comments:

  1. Semoga cepat menemukan 'dia' yang bisa kamu gandeng. Tapi mungkin.... cepatkan move on-mu dulu, mungkin baru bisa menemukan dia

    ReplyDelete
  2. Halo git, kan kapan hari udah ku tawarin seseorang buat jadi travelmate mu wkwk. Sok sok an siih

    ReplyDelete
  3. Ini ga ada makasih buat aku nih? Yang numpangin kasur dan udah kau jebolin 😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih kak lely yg sebenrnya jebolin kasure dewe wakakaka

      Delete